Jawabannya, mungkin saja dengan cara mengembangkan dan menggaungkan kembali diversifikasi pangan. Penganekaragaman atau diversifikasi pangan merupakan sebuah usaha untuk mengajak masyarakat memberikan variasi terhadap makanan pokok yang dikonsumsi, agar tidak terfokus hanya pada segelintir bahan saja, seperti beras dan gandum.
Konsep ini tentunya hanya berlaku pada makanan pokok saja. Misalnya, beras diganti dengan jagung, sagu, ubi, singkong, sorgum, sukun, dan lainnya. Upaya ini tujuannya untuk memperluas sumber makanan dengan memanfaatkan berbagai bahan pangan lokal yang ada di suatu daerah.
Diversifikasi pangan juga bisa menjadi strategi untuk menciptakan ketahanan pangan yang lebih luas dan fleksibel sehingga nantinya dapat terwujud swasembada beras karena stoknya selalu tercukupi.
Jadi, target cetak sawah 3 juta hektare dalam 3--4 tahun bukan hal mustahil untuk bisa digunakan dalam mengembangkan komoditas lain di luar padi.
Ketahanan pangan
Kebutuhan konsumsi beras di Indonesia mencapai 30 juta ton per tahun. Untuk mencukupinya, Pemerintah pun melakukan impor sebesar 3,6 juta ton pada 2024, yang sebagian di antaranya masuk dalam cadangan beras Pemerintah (CBP).
Guna mengurangi impor beras yang dilakukan terus-menerus, Pemerintah menyiapkan berbagai strategi. Salah satunya adalah food estate atau pengembangan pangan secara terintegrasi, yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional (PSN) di era Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kebijakan ini juga diteruskan pada Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dengan program swasembada pangannya. Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut, Kementerian Pertanian menetapkan dua strategi guna mewujudkan swasembada pangan, yakni dengan peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan lahan tanam (ekstensifikasi).
Upaya yang ditempuh oleh Pemerintah ini sudah tepat, namun masalah penganekaragaman pangan tidak boleh dilupakan begitu saja bila menginginkan swasembada pangan maupun kemandirian pangan.
Hal ini juga diamini oleh pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Ia menilai food estate ataupun cetak sawah bertujuan untuk memastikan Indonesia memiliki lahan pangan atau pertanian yang memadai sehingga mampu mewujudkan resiliensi di sektor pangan.
Diversifikasi menjadi langkah yang wajib dilakukan agar Indonesia memiliki resiliensi atau ketangguhan terhadap guncangan produksi pangan atau krisis pangan.
Ketergantungan terhadap segelintir pangan saja, seperti beras, akan memberikan dampak yang besar. Terlebih, saat terjadi gangguan produksi yang disebabkan oleh iklim. Ujung-ujungnya, impor pangan khususnya beras akan dilakukan lagi guna mencukupi kebutuhan masyarakat.
Oleh karena itu, food estate ataupun swasembada pangan juga perlu memasukkan tanaman pangan lokal seperti sagu, sorgum, ubi kayu, sukun, dan lainnya untuk bersama-sama dikembangkan.
Keunggulan diversifikasi
Untung yang didapat dari diversifikasi pangan tentu ada. Dengan penganekaragaman jenis makanan pokok, maka bisa dipastikan Indonesia memiliki ketangguhan terhadap guncangan krisis maupun produksi pangan.
Diversifikasi juga dapat menggerakkan ekonomi menjadi lebih baik, lantaran stok pangan tidak lagi dipasok dari luar daerah ataupun luar negeri. Bahkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong industri kecil menengah (IKM) melakukan diversifikasi produk pangan yang memanfaatkan bahan baku lokal guna meningkatkan nilai tambah.
Komoditas bahan baku lokal ini dianggap menjadi alternatif untuk mencukupi ketahanan pangan Indonesia, dan bagi sektor industri pengolahan, usaha ini bisa menyerap banyak tenaga kerja.
Adapun bahan baku pangan lokal yang bisa digarap oleh pelaku IKM, antara lain, sorgum sebagai pengganti beras, ganyong untuk bahan mi, hotong untuk sereal, porang untuk beras shirataki dan tepung, hanjeli untuk yogurt dan pakan ternak, talas sebagai bahan pembuat kue dan roti, serta ubi kayu untuk aneka tepung.
Beberapa contoh di atas dapat mengisi kebutuhan tepung industri. Sebab, bahan baku untuk tepung ini akan lebih mudah difortifikasi dan gampang diolah menjadi aneka makanan. Selama ini, Indonesia masih ketergantungan dengan gandum sebagai bahan baku untuk pembuatan tepung.
Selain itu, diversifikasi juga dianggap membuat jejak karbon dan air menjadi lebih pendek. Artinya, lebih ramah secara lingkungan. Pangan lokal ini sering kali lebih mudah diakses, lebih terjangkau, dan lebih sesuai dengan kondisi setempat sehingga tidak membutuhkan input pertanian yang tinggi seperti pupuk kimia atau pestisida.
Namun demikian, melakukan diversifikasi pangan juga sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Setidaknya, untuk mendukung aksi tersebut, harus dipastikan perihal kemudahan untuk mengakses barang. Artinya, komoditas yang masuk dalam diversifikasi ini harus mudah didapat sampai ke daerah-daerah terpencil ataupun saat masa-masa paceklik.
Yang tak kalah penting, komoditas alternatif bahan pokok ini mudah diakses secara ekonomi atau terjangkau dan harganya stabil sehingga seluruh masyarakat dapat menikmatinya, terutama yang masuk dalam golongan miskin dan rentan.
Selama ini, produk-produk pangan alternatif seperti porang dan sorgum memiliki harga yang belum terjangkau. Hanya sebagian masyarakat yang mampu membelinya. Alat pengolahannya pun masih terbatas sehingga nilai jual porang olahan di pasarnya pun tinggi.
Khudori menekankan pentingnya harga pasar di hilir yang menarik dan menguntungkan. Pasar yang pasti akan menggerakkan petani dan pelaku usaha di hulu untuk mengisinya.
Dukungan kebijakan fiskal juga diperlukan agar produk dari komoditas pangan lokal ini, tepung, misalnya, bisa bersaing di pasar.
Tak hanya itu, riset yang intensif terkait olahan pangan alternatif harus dilakukan, untuk mendapatkan kemudahan penyajian dan komplementari yang luas terhadap pangan lain.
Upaya Pemerintah
Isu terkait diversifikasi pangan sebenarnya sudah lama didorong oleh pemerintah. Badan Pangan Nasional (Bapanas) saja memiliki program diversifikasi konsumsi pangan masyarakat melalui Rumah Pangan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA).
Selain itu, Bapanas juga mendorong sagu agar menjadi bagian integral ketahanan pangan nasional selain beras. Program-program tersebut telah dilakukan oleh Bapanas melalui edukasi dari desa ke desa dan sekolah-sekolah.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga telah berhasil menciptakan tepung sorgum yang dapat diolah 100 persen menjadi mi dan berpotensi melepaskan ketergantungan Indonesia terhadap tepung gandum dari luar negeri sebagai bahan baku mi.
Pada dasarnya, Pemerintah tidak pernah melupakan upaya ketahanan pangan dengan cara diversifikasi. Namun, tantangan yang dihadapi untuk menggeser kebiasaan konsumsi masyarakat yang sudah ketergantungan dengan beras memang tidak mudah.
Sampai saat ini, Kementerian Pertanian terus mengembangkan diversifikasi pangan, khususnya yang memiliki sumber karbohidrat. Namun, masyarakat masih menganggap bahwa beras adalah satu-satunya sumber pangan utama.
Pada akhirnya, Pemerintah pun berusaha untuk menahan agar tidak terjadi gejolak pada ketersediaan beras. Oleh karena itu, dalam program swasembada pangan, komoditas yang menjadi fokus utama adalah padi.
"Kita tidak ingin ada gejolak sehingga mau tidak mau, kita itu mesti beresi dulu urusan beras. Baru nanti kita membereskan urusan jagung, kedelai, dan seterusnya. Jadi diversifikasi pangan itu tetap penting," kata Wakil Menteri Pertanian Sudaryono.
Yang perlu diingat, diversifikasi pangan bukanlah mengganti besar-besaran beras dengan sumber karbohidrat lain. Namun, posisi beras sedikit digeser karena ada ubi, singkong, kentang, sorgum, porang, sagu, dan pangan lokal lainnya yang tidak kalah bergizi.
Sejatinya, diversifikasi pangan dapat menurunkan ketergantungan masyarakat terhadap beras dan berperan dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Memberikan edukasi tentang keragaman pangan menjadi sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini bisa dilakukan pada lingkup terkecil seperti rumah dengan menghidangkan pangan lokal atau membiasakan konsumsi karbohidrat selain nasi.
Kampanye yang intens juga harus dilakukan secara berkelanjutan agar terbuka peluang bagi pangan lokal untuk memiliki peran dalam menjaga ketahanan pangan nasional.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024