Konsolidasi dan koordinasi lintas sektor perlu dipacu di samping mengawal percepatan infrastruktur sehingga Indonesia bisa mengambil manfaat positif dari era komunitas ASEAN.
Jakarta (ANTARA News) - Perjalanan sang presiden baru untuk memimpin negeri sebesar Indonesia bukanlah hal yang mudah, karena harus melewati terlebih dahulu bulan-bulan penuh cobaan dalam masa Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.


Sang presiden baru harus merancang manuver politik tingkat dewa, sekaligus berjibaku menghadapi kampanye hitam, juga bersabar dengan polemik penghitungan suara, hingga berdamai dengan isu kecurangan. Bagi kedua Calon Presiden (Capres) RI baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo menghadapi kontes yang sangat ketat dan lawan yang berat satu sama lainnya.


Pemilihan Presiden 2014 dianggap sebagai proses pendewasaan bangsa menuju negara demokrasi ideal. Pilpres 2014 dinilai banyak pihak bahwa sejatinya bangsa Indonesia sedang mendapat pelajaran penting dalam perjalanan kehidupan berdemokrasinya.


Di luar itu semua, perjuangan sang presiden baru belum usai, justru baru dimulai. Segudang pekerjaan rumah (PR) telah menanti untuk dirampungkan. Kalangan pelaku usaha di Tanah Air mencatat beberapa hal yang menjadi pekerjaan rumah utama pemerintahan baru yang pada umumnya berkenaan dengan daya saing sektor industri dalam negeri.

Peneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Ina Primiana, kepada wartawan mengemukakan pendapat bahwa sebaiknya presiden dan wakil presiden pemenang pemilu langsung memfokuskan diri pada pengembangan sektor padat karya dan pemenuhan kebutuhan domestik.

"Industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil, alas kaki, furnitur, dan juga harus membangun industri subtitutor bahan baku impor," katanya.

Sejumlah terobosan cepat yang perlu segera ditangani, di antaranya kemudahan pemberian izin dibarengi dengan sinergi pelaksanaan kebijakan di berbagai daerah.

Menurut dia selama ini koordinasi lintas sektoral, termasuk kementerian dan lembaga komandonya, masih saja menjadi barang mahal di Tanah Air.

Padahal, sinergi ini diharapkan bisa menciptakan sinkronisasi antarkebijakan yang ada di masing-masing kementerian.

"Sinergi dibutuhkan untuk membangun industri di daerah agar tercipta perluasan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskisnan," kata Ina.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Indonesia yang bekerja pada bulan Februari 2014 sebanyak 118,17 juta orang. Jumlah ini meningkat 1,73 juta orang dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu sebanyak 116,44 juta orang.

Sang presiden kelak akan mendapatkan beban pekerjaan rumah dalam hal perluasan lapangan kerja untuk menekan serendah mungkin tingkat pengangguran yang pada bulan kedua tahun ini tercatat 7,15 juta penganggur.



PR Konektivitas


Pengamat ekonomi, Teguh Boediyana, berpendapat bahwa aksi cepat yang paling mendesak dilakukan presiden baru adalah percepatan dan perbaikan infrastruktur.

"Selama ini isu konektivitas itulah yang memperlemah daya saing kita, ekonomi berbiaya tinggi itu citra yang merugikan kita," katanya.

Menurut dia, industri dan sektor riil benar-benar membutuhkan kelancaran konektivitas yang mampu menghemat biaya logistik sekaligus meningkatkan daya saing Indonesia.

Teguh juga menekankan pentingnya pengembangan industri dari hulu ke hilir untuk mengurangi volume impor barang utuh dan ekspor bahan baku.

Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Firmansyah, seperti dilansir laman Sekertariat Kabinet, Selasa 15 Juli 2014, mengungkapkan siapa pun presiden yang terpilih mendatang harus menyelesaikan banyak pekerjaan rumah.

Agenda pembangunan nasional masih menyisakan sejumlah tantangan, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang.

Ia mencontohkan pada tahun 2015 Indonesia akan memasuki babak Masyarakat Ekonomi ASEAN yang memerlukan perhatian serius mengingat waktu yang tersisa relatif singkat pasca-Pilpres 2014.

Menurut dia, presiden dan wakil presiden yang dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 perlu mengoptimalkan kerja dua bulan sebelum memasuki tahun 2015 yang tentunya bukanlah hal yang mudah.

"Konsolidasi dan koordinasi lintas sektor perlu dipacu di samping mengawal percepatan infrastruktur sehingga Indonesia bisa mengambil manfaat positif dari era komunitas ASEAN. Era baru Masyarakat Ekonomi ASEAN ini tentunya juga memicu ketatnya persaingan antarkawasan pada masa-masa mendatang," kata Firmanzah.

Selain itu, lanjut Firmanzah, tantangan lainnya terkait dengan menjaga kedisipilinan fiskal. Dia mengatakan bahwa pengelolaan fiskal memerlukan kehati-hatian dan kedisipilinan yang tinggi pada saat ekonomi dunia masih menyisakan ketidakpastian.

"Presiden dan wakil presiden yang terpilih nantinya bertanggung jawab dan berkewajiban menjaga kesinambungan fiskal sehingga ekonomi nasional dapat terus tumbuh berkualitas," kata Firman.



Reformasi Birokrasi


Sementara itu, Guru Besar Ekonomi Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika, mengatakan bahwa kebijakan reformasi yang telah dilakukan selama satu dekade ternyata banyak menimbulkan masalah.

"Penyebab munculnya masalah ini berasal dari dua sumber. Pertama, urutan kebijakan reformasi ekonomi yang tidak benar. Kedua, absennya kelembagaan ekonomi untuk menjalankan kebijakan reformasi ekonomi," kata Erani.

Oleh karena itu, reformasi birokrasi segera mempertebal buku PR sang presiden baru republik ini. Gagalnya reformasi birokrasi telah mengakibatkan terbitnya kebijakan salah kaprah.

Erani merangkumnya dalam lima akibat salah kebijakan yang menyebabkan liberalisasi keuangan hanya menjadi instrumen menafkahi kepentingan sektor keuangan itu sendiri, bukan menumbuhkan sektor riil.

Kedua, petani makin terjerembab karena kontrol harga dilepas, sementara penentu harga (price maker) adalah pedagang/distributor.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi ditopang oleh nontradable sector yang konten impornya tinggi dan penyerapan tenaga kerjanya rendah.


Keempat, marginalisasi pelaku ekonomi tradisional dan skala kecil akibat kalah bersaing dengan pelaku ekonomi besar di sektor perdagangan.

Kelima, ketimpangan pendapatan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga menjadi ongkos mahal reformasi ekonomi akibat kesalahan kebijakan.

Menurut Erani stabilitas makroekonomi yang relatif bagus menimbulkan tiga masalah akut, yakni kemiskinan, ketimpangan pendapatan, dan pengangguran.

"Ini terjadi karena tidak diimbangi kelembagaan makro dan mikro ekonomi yang solid," katanya.

Pada level kelembagaan makro, reformasi ekonomi tidak diikuti dengan reformasi administrasi, hukum, dan politik.

Akibatnya, birokrasi berjalan amat pelan (reformasi administrasi/birokrasi tidak berjalan), tidak ada kepastian berusaha (karena rapuhnya penegakan hukum), dan sebagian sumber daya ekonomi digerogoti oleh praktik korupsi (reformasi politik yang cuma berada di level prosedural).

Masyarakat kemudian harus sadar tentang betapa tebalnya buku PR sang pemimpin negeri dan perjuangan itu baru saja akan dimulai.

(H016)

Oleh Hanni Sofia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014