Jakarta (ANTARA) - "Teorinya sudah habis," kata mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md. saat menjadi narasumber pada diskusi bertajuk Pemberantasan Korupsi: Masihkah Ada Harapan.

Berbagai teori untuk memberantas korupsi telah diterapkan sejak awal reformasi, dengan membentuk sejumlah lembaga yang bertujuan memberangus praktik culas di negeri ini.

Mulai dari membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan lain sebagainya.

Namun kenyataannya hingga saat ini korupsi masih menjadi momok, bahkan dilakukan dari jabatan yang terendah hingga pejabat tinggi.

Lembaga yang didirikan untuk memberangus kejahatan luar biasa tersebut, nyatanya pemimpin komisi antirasuah juga tersandung kasus yang sama.

Korupsi saat ini bukan hanya terjadi di eksekutif saja, tapi lembaga negara lainnya seperti legislatif dan yudikatif pun terbelenggu hal yang sama dari tingkat bawah hingga atas, dari daerah sampai pusat.

Sangat wajar, bila melihat kondisi tersebut para ahli dan pengamat ragu terhadap pemberantasan korupsi di negeri tercinta ini.

Apalagi pelemahan KPK menjadi isu yang santer didengungkan bahkan terbukti setelah adanya revisi undang-undang, KPK kurang lagi bertaji dan kini mantan pimpinannya pun tersandera kasus pemerasan atau korupsi.


Gebrakan Presiden

Setelah beberapa hari pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, publik digemparkan dengan penangkapan tiga oknum hakim PN Surabaya oleh Kejaksaan Agung.

Ketiganya terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) kasus suap vonis bebas kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur pada 23 Oktober lalu.

Sehari setelah penangkapan tiga oknum hakim tersebut, Kejagung kembali menangkap mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang menjadi makelar pada kasus sama.

Yang lebih menggemparkan, dari tangan mantan pejabat berinisial ZR itu didapati uang tunai hampir satu triliun, dan 51 kilogram emas. Saat ini kasusnya masih terus berjalan.

Kejagung kembali menunjukkan taringnya dengan menetapkan mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka kasus korupsi impor gula.

Bukan hanya di Kejagung, penangkapan koruptor juga dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus korupsi tersebut tentu menjadi perhatian publik pada beberapa hari terakhir, dan ini menjadi awal yang baik bagi penegak hukum masa Pemerintahan Presiden Prabowo dalam memberantas korupsi.

Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar Presiden Prabowo sebagaimana tercantum dalam perumusan Astacita poin ketujuh yaitu "Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba".

Dalam beberapa kesempatan, Presiden terus menekankan komitmennya memberantas korupsi dan itu disampaikan berulang, baik sebelum dilantik maupun setelah resmi menjadi Kepala Negara.

Yang teranyar, Presiden menyatakan bahwa ketika mengatakan ingin memberantas korupsi malah ditertawakan, hal ini lantaran korupsi terlalu banyak dan seolah-olah telah diterima.

"Korupsi masih terlalu banyak dan seolah-olah diterima dalam kondisi sehari-hari. Bahkan kalau kita ingin memberantas korupsi, kita malah ditertawakan," kata Kepala Negara.

Kepala Negara pun sempat menyampaikan akan mengejar para koruptor, dan bahkan ketika berada di Antartika. Pernyataan Presiden yang terus berulang membawa angin segar pemberantasan korupsi di Indonesia.

Apalagi, Mahfud Md. yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi 2008--2013, menyatakan bahwa harapan pemberantasan korupsi di negeri ini hanya tinggal ada di pundak Presiden Prabowo Subianto karena serasa semua teori telah diterapkan namun belum tampak keberhasilannya.

SDM berintegritas

Penanganan tindak pidana korupsi bisa dilakukan di semua lembaga penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan, dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga lembaga ini berwenang memburu para koruptor. Demi melecut efektivitas pemberangusan korupsi, juga dibentuk Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Kortas Tipikor berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 122/2024.

Selain lembaga-lembaga tersebut, yang menjadi perhatian juga institusi peradilan karena para koruptor bisa jera apabila hukuman yang diterima berat dan sebanding dengan perbuatannya merugikan negara.

Lembaga negara, perusahaan milik negara dan semua unsur yang mengelola kekayaan negara memang sepatunya diisi oleh orang-orang berintegritas, karena dengan pemimpin berintegritas dapat meminimalkan tindakan melawan hukum.

Hal itu diungkapkan Jaksa Agung ST Burhanuddin saat menjadi narasumber pada acara Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Daerah mengatakan bahwa ketika pemimpin di suatu unit kerja baik dan tidak korup maka anak buah akan takut melakukan tindakan tercela.

"Akan tetapi, kalau pimpinan atau kepala unit kerja korup, di bawah adalah rampok. Ingat itu!" kata Jaksa Agung.

Integrasi merupakan kunci bagi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas karena dapat mencegah praktik-praktik kotor dan ikut serta dalam memberantas korupsi.

Sebab jika pimpinan berintegritas maka ketika ada bawahan yang korup dapat dipastikan akan ditindak sesuai dengan ketentuan dan hukum. Akan tetapi ketika pimpinan korup maka tidak ada keberanian untuk menindaknya.

Hal itu juga disampaikan oleh Akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Lies Sulistiani bahwa integritas sumber daya manusia (SDM) pada semua sistem harus ditingkatkan karena prilaku korup akibat dari integritas yang rendah dibarengi sifat tamak.

Beberapa pun besarnya penghasilan seseorang, jika mereka adalah pribadi yang tamak ditambah integritasnya yang rendah, maka korupsi bisa terjadi.

Korupsi di Indonesia memang sudah seperti jamur dan itu terjadi di mana-mana, mulai dari yang terendah hingga tertinggi. Semua itu bukan karena lemahnya pengawasan atau kurangnya penindakan hukum, namun korupsi terjadi karena integritas seseorang pemimpin itu sendiri.

Selain itu, sistem juga berpengaruh besar menjadikan korupsi merajalela, mengingat dari tahun ke tahun korupsi terus bertambah dan terjadi dititik yang sama.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024