Bondowoso (ANTARA) - Radikalisme berbasis paham keagamaan yang kaku masih menjadi masalah rumit di sejumlah negara, termasuk di negara kita. Operasi yang dilakukan oleh personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri di Jawa Tengah, beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa masih ada orang atau sekelompok orang yang selalu ingin memaksakan paham agamanya sesuai dengan yang diyakini orang atau sekelompok orang tersebut.
Dalam konteks Islam, penganut paham radikal ini berkeyakinan bahwa paham yang berbeda dengan yang mereka yakini, meskipun mereka umat Islam juga, adalah golongan kafir.
Jika pada penganut Islam moderat berkeyakinan bahwa kita tidak boleh membunuh, bahkan menyakiti kaum yang dianggap kafir itu, bagi kaum radikalis tidak demikian. Kaum kafir atau yang mereka nilai kafir itu boleh dibunuh jika menghalangi upaya mereka untuk menyebarkan pahamnya.
Ekspresi paham keagamaan seperti ini sangat mengerikan karena, bahkan orang tua kandungnya pun, jika dianggap menghalangi juga bisa dibunuh. Lagi-lagi si orang tua yang tidak sepemahaman dengan radikalis itu, juga bisa dimasukkan dalam golongan kaum kafir.
Jika ditelisik lebih jauh dan mendalam, sejatinya akar persoalan radikalisme ini bukan semata-mata murni berasal dari kakunya paham keagamaan. Mereka adalah korban dari dogma yang ditanamkan oleh kaum radikalis sebelumnya.
Ada faktor psikologis seseorang yang dengan mudah masuk ke dalam jebakan kaum radikalis itu, yakni ketika tangki cinta dalam jiwa seseorang itu tidak penuh. Mereka yang tangki cintanya kosong itu umumnya berawal dari keluarga.
Seorang anak yang tidak mendapatkan rasa cinta dan penerimaan secara utuh di keluarga akan cenderung mencari pemenuhan tangki cinta di luar rumah.
Kalau pemenuhan itu pada jalur yang semestinya, yakni kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai cinta, seperti kaum tasawuf, kita tidak perlu khawatir dengan mereka itu. Secara umum, kelompok yang mendalami tasawuf atau penganut tarekat, mereka membawa nilai-nilai cinta sebagai upaya mewujudkan sifat Rahman dan Rahimnya Allah di alam semesta.
Ritual rutin mereka yang biasanya disebut dengan istilah tazkiyatun nafs (membersihkan jiwa) akan membawa seseorang pengamalnya untuk mengedepankan sikap welas asih dalam berinteraksi dengan orang lain, bahkan dengan makhluk selain manusia, termasuk alam semesta.
Lewat pembersihan jiwa secara kontinu, dengan bimbingan guru rohani atau mursyid, mereka tidak akan terpengaruh jika berjumpa dengan kelompok yang memahami agama dengan penuh kebencian terhadap penganut paham lain.
Bahkan, para pejalan di jalur tasawuf ini juga memandang bahwa kaum yang di luar Islam harus dihormati dan dijunjung tinggi kehormatannya karena di dalam setiap individu ada keilahian yang ditiupkan dari sebagian rohnya Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Surat As Shad ayat 72.
Bagi kaum sufi, menyakiti makhluk lain, apalagi manusia, justru bertentangan dengan nilai luhur yang diusung Islam itu sendiri, yakni rahmatan lil 'aalamiin atau memberi rahmat serta kasih sayang kepada seluruh alam.
Kaum sufi ini juga meyakini bahwa Nabi Muhammad, junjungan utama dan paling sempurna dalam menjalankan ajaran Islam, tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat kekerasan atau kerusakan di Bumi.
Bahkan, kisah-kisah inspiratif yang dipertontonkan oleh Nabi Muhammad Saw., saat mendapatkan perlakuan kasar dari umat di luar Islam, ketika itu, selalu diceritakan dan menjadi kajian mendalam bagi kaum sufi.
Penggalan ayat dari Surat Al Baqarah ayat 256 yang artinya, "Tidak ada paksaan dalam agama," betul-betul mereka pegang sehingga kaum yang setiap saat selalu menyadari ketersambungannya dengan Allah itu , selalu menebarkan wajah sejuk kepada siapa pun. Mereka tidak memaksakan paham yang diyakininya agar diikuti orang lain.
Bagi mereka memaksakan kehendak dengan berkedok agama, sehingga apa yang dilakukan kaum radikalis itu seolah-olah memperjuangkan nilai-nilai suci agama, sesungguhnya mereka memperjuangkan nilai-nilai kebiadaban dan kemungkaran. Itu bukan ajaran Islam.
Copyright © ANTARA 2024