Surabaya (ANTARA) - Akhir Oktober 2024 publik dikejutkan dengan berita temuan uang senilai hampir Rp1 triliun di rumah seorang mantan pejabat Mahkamah Agung berinisial ZR (Zarof Ricar). Selain uang dalam berbagai pecahan mata uang rupiah dan asing, juga ditemukan emas seberat 51 kilogram.
Fantastis! Itulah kata yang diucapkan sebagian masyarakat atas temuan uang dalam jumlah yang sangat besar itu.
ZR adalah mantan Kabadiklat Kumdil Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan permufakatan jahat suap dalam kasasi Ronald Tannur. ZR diduga juga menjadi makelar pengurusan perkara lain di MA selama 10 tahun (2012 hingga 2022).
Berawal dari vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam perkara penganiayaan berujung kematian terhadap kekasihnya bernama Dini Sera Afrianti pada akhir Agustus 2024.
Vonis bebas itu mengejutkan masyarakat. Tiga hakim yang mengadili kasus itu, yakni Erintuah Damanik, Mangapul dan Heru Hanindyo menjadi sorotan dan dilaporkan ke Komisi Yudisial atas vonisnya yang tidak masuk akal. Padahal, kasus itu viral dan menyita perhatian publik.
Tiga hakim itu bersama kuasa hukum Ronald Tannur berinisial LR (Lisa Rahmad) kini sudah ditetapkan sebagai tersangka. LR memberikan uang sebesar Rp5 miliar kepada tersangka ZR untuk diberikan kepada Hakim Agung MA yang menangani kasasi perkara Ronald Tannur.
Terakhir, ibunda Ronald Tannur berinisial MW (Meirizka Widjaja) ikut menjadi tersangka kasus suap tersebut setelah diperiksa penyidik Kejagung.
Kasus mafia peradilan ini sebenarnya bukan isu baru. Sejak lama sudah ada isu soal oknum aparat penegak hukum yang bisa mengatur penyelesaian suatu kasus. Masyarakat tahu dan merasakan, tetapi seperti biasa tidak bisa berbuat apa-apa.
Bagaimana seorang koruptor kakap yang terbukti menggarong uang negara dalam jumlah besar hanya mendapatkan vonis ringan? Merujuk laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2023, dari total 1.718 orang terdakwa korupsi, hukumannya rata-rata 3 tahun 4 bulan penjara.
Selain hukum ringan, ICW mencatat hukuman denda yang dijatuhkan majelis hakim juga ringan, yakni rata-rata Rp180 juta. ICW mencatat ada 48 koruptor bebas dan 11 terdakwa lepas karena kesalahan jaksa menerapkan pasal tuntutan. Sementara nilai uang yang dikorupsi selama tahun 2023 mencapai Rp28,4 triliun, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar Rp42,7 triliun.
Soal hukuman denda, memang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah mengatur pembayaran denda maksimal Rp1 miliar. Sedangkan lama hukuman mulai satu tahun hingga hukuman mati.
Namun, sangat jarang majelis hakim yang berani menjatuhkan vonis berat kepada pelaku tindak pidana korupsi. Misalnya, di atas 20 tahun penjara. Situasi ini yang membuat sebagian masyarakat pesimistis terhadap pemberantasan korupsi di tanah air dan koruptor menjadi jera.
Lagi pula, terkuaknya oknum pejabat MA yang "bermain" kasus bukan kali pertama. Sebelumnya pada tahun 2020, Sekretaris MA Nurhadi Abdurrachman ditangkap KPK atas kasus suap dan gratifikasi. Nurhadi kemudian hanya divonis enam tahun.
Setelah itu, ada Hakim Agung Gazalba Saleh dan Sudrajad Dimyati tersandung kasus serupa. Gazalba divonis ringan 10 tahun, dari tuntutan jaksa 15 tahun. Sedangkan Sudrajad Dimyati hanya dihukum tujuh tahun, dari tuntutan 13 tahun.
Ketika aparat penegak hukum yang menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan sudah tidak bersih, bagaimana keadilan dan penegakan hukum bisa dijalankan dengan baik.
Seorang Zarof Ricar bisa mengumpulkan harta hingga hampir Rp1 triliun dalam kurun waktu 10 tahun menjadi makelar kasus di MA. Lalu bagaimana dengan oknum-oknum pejabat lain yang ada di lembaga peradilan itu?
Jika dalam 10 tahun "bermain" kasus bisa mengumpulkan harta Rp1 triliun, berarti ZR bisa mengeruk uang sekitar Rp100 miliar setiap tahun atau Rp8,3 miliar setiap bulan atau sekitar Rp270-an juta setiap hari. Tentu yang harus ditelusuri, dari mana dan kepada siapa saja aliran uang suap itu?
Sudah pasti ini bukan tugas ringan bagi Kejaksaan Agung yang sedang menangani kasus ini. Namun, masyarakat sangat menanti keseriusan Kejagung menuntaskan kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan oknum aparat penegak hukum ini.
Pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho dalam pernyataannya menyebut temuan uang hampir Rp1 triliun milik mantan pejabat Mahkamah Agung ZR harus menjadi momentum reformasi hukum yang lebih mendalam bagi Indonesia.
Indonesia membutuhkan reformasi yang tidak hanya memperketat aturan, tetapi juga mekanisme pengawasan yang memungkinkan setiap praktik korupsi terdeteksi lebih dini. Transparansi menjadi kebutuhan utama.
Salah satu reformasi yang bisa dilakukan adalah pengetatan pengawasan terhadap aset dan harta pejabat peradilan, serta transparansi yang lebih tinggi dalam pengelolaan kasus, terutama pada tahap kasasi yang sering melibatkan pejabat tinggi peradilan.
Hal itu karena kasus tersebut mengungkap celah besar dalam sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan di Indonesia.
Selain itu, Kejaksaan Agung dan lembaga penegak hukum lainnya bisa semakin berani mengambil langkah progresif dalam penegakan hukum terhadap pejabat tinggi peradilan yang terlibat dalam kasus seperti ini.
Kasus ini harus menjadi peringatan keras bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk mereka yang seharusnya menegakkan hukum.
Presiden RI Prabowo Subianto juga sudah menegaskan komitmennya dalam pemberantasan korupsi dan reformasi hukum di pemerintahannya, sebagaimana tertuang dalam salah satu poin Astacita.
Kini, Presiden Prabowo menjadi satu-satunya harapan rakyat Indonesia dalam pemberantasan korupsi di negeri ini karena hanya Presiden yang bisa memerintahkan jajaran penegak hukum untuk memberantas mafia-mafia hukum.
Copyright © ANTARA 2024