Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana menyoroti perihal wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Ia menjelaskan penerapan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek mirip dengan kebijakan yang diterapkan Australia pada 2012. Saat itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang menolak kebijakan tersebut.

"Sekarang kita justru ingin menerapkan apa yang pernah kita lawan. Ini sangat membingungkan," kata dia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

Hikmahanto menekankan bahwa Indonesia sebagai negara penghasil tembakau, seharusnya tidak mengikuti regulasi yang ditentukan oleh negara lain, terutama yang bersumber dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Pasalnya, kebijakan tersebut dapat mengganggu pendapatan negara yang berasal dari keseluruhan kegiatan ekonomi mata rantai sektor tembakau, termasuk devisa ekspor.

"Kita adalah negara penghasil tembakau, tetapi justru kebijakan ini bisa membuat produk kita terpinggirkan di pasar internasional," ujarnya.

Ia menegaskan pemerintah perlu menjaga kedaulatan negara serta memperhatikan kepentingan pelaku usaha domestik yang berjuang untuk bersaing di pasar global. Salah satu poin penting yang disoroti Hikmahanto, kebijakan itu dapat merugikan pelaku usaha yang ingin membedakan produk mereka.

"Setiap pelaku usaha berhak untuk bersaing dengan cara menonjolkan identitas merek mereka. Jika identitas itu dihilangkan, bagaimana mereka dapat bersaing?," katanya.

Lebih lanjut, sebut dia, ada urgensi untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan tersebut terhadap masyarakat.

"Jika regulasi ini diterapkan, maka perokok malah akan beralih ke produk ilegal yang tidak terkontrol," ucapnya.

Hikmahanto turut menggarisbawahi perlunya koordinasi antar kementerian dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada kesehatan masyarakat sekaligus keberlangsungan industri serta menolak adanya intervensi asing dalam menentukan arah kebijakan nasional yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

"Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak mengorbankan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Indonesia harus memiliki ketahanan dan kedaulatan dalam menentukan arah kebijakan kita sendiri," kata Hikmahanto.

Untuk diketahui, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024.

Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan berdasarkan hasil kajian Indef, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.

Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan identitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.

"Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk," ujarnya.

Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar 7 persen dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai. Jika regulasi itu diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk 2024 ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.

Pasalnya, lanjut Andry, industri hasil tembakau merupakan salah satu penyumbang signifikan bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Sebelum pandemi COVID-19, industri tersebut menyumbang hingga 6,9 persen terhadap PDB, namun angka ini terus menurun setiap tahunnya.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024