"Ilmu terkait manajemen pengurangan risiko bencana harus sampai kepada masyarakat pada lapisan akar rumput," kata Safrizal ZA di Banda Aceh, Rabu.
Pernyataan itu disampaikannya dalam seminar internasional terkait kebijakan lingkungan dan pengurangan risiko bencana di Jepang dan Indonesia, di Kantor Bappeda Aceh, Banda Aceh.
Safrizal mengatakan, letak Indonesia khususnya Aceh berada pada wilayah cincin api Pasifik yang berpotensi dilanda bencana besar seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung api secara berulang.
Tsunami Aceh 2004, kata dia, merupakan bencana terbesar dalam 100 tahun terakhir, tetapi saat itu manajemen risiko bencana belum pernah diajarkan kepada masyarakat serta sekolah.
"Bahkan sebagian besar kita di Aceh baru mengetahui sebutan tsunami pada 26 Desember 2004," ujarnya.
Dia menuturkan, guna meminimalisasi korban jiwa dan harta benda saat bencana terjadi, maka ilmu mitigasi penting disosialisasikan kepada masyarakat. Terutama para pihak yang bekerja pada badan penanggulangan bencana mulai dari pusat, provinsi hingga kabupaten/kota.
Ia menyampaikan, peringatan tsunami yang pernah terjadi di Aceh perlu terus diperingati agar ingatan masyarakat tentang bencana besar tersebut tidak terhapus oleh waktu.
Selain itu, peringatan tsunami juga menjadi wadah mengedukasi generasi muda Aceh tentang bencana tsunami yang pernah melanda 20 tahun silam.
"Kita dapat belajar mitigasi bencana dari negara lain seperti Jepang, sambil belajar kita juga bisa menjadi tempat pembelajaran mitigasi bencana untuk negara lainnya," demikian Safrizal ZA.
Baca juga: Banyuwangi edukasi warga dengan simulasi evakuasi gempa megathrust
Baca juga: Pemprov Jateng petakan daerah rawan banjir dan longsor
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024