Jakarta (ANTARA) - Memasuki era baru di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, terdapat pelajaran penting yang bisa diambil dari strategi komunikasi Joko Widodo selama satu dekade sebelumnya.

Dari penggunaan media sosial hingga pendekatan blusukan, Jokowi telah membentuk pola komunikasi yang tidak hanya memperkenalkan pemimpin sebagai “presiden rakyat”, tetapi juga berhasil menciptakan kedekatan yang mendalam antara pemerintah dan masyarakat. Meskipun demikian, tantangan-tantangan yang dihadapi selama era Jokowi menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah harus terus berkembang, terutama di era digital yang cepat berubah ini.

Beberapa pelajaran dapat menjadi landasan penting bagi pemerintahan baru untuk membangun komunikasi yang efektif, transparan, dan adaptif.

Pertama, komunikasi media sosial. Salah satu strategi paling menonjol dari pemerintahan Jokowi adalah pemanfaatan media sosial untuk menjangkau masyarakat. Selama bertahun-tahun, Jokowi memanfaatkan platform, seperti Instagram, Twitter, dan Facebook untuk berkomunikasi langsung dengan rakyat, terutama generasi muda. Langkah ini memberikan kesan pemimpin yang dekat dengan masyarakat, yang secara langsung hadir di ruang-ruang digital tempat rakyat banyak menghabiskan waktu mereka.

Hanya saja, meskipun strategi media sosial ini sangat efektif dalam meningkatkan visibilitas, tantangan besar yang muncul adalah kurangnya kedalaman informasi. Banyak isu yang dikemas secara sederhana dan viral, yang akhirnya kurang memberikan pemahaman menyeluruh terhadap kebijakan yang kompleks.

Untuk pemerintahan Presiden Prabowo, kedalaman ini bisa dicapai dengan menyertakan edukasi dalam setiap konten. Komunikasi yang mendidik tentang latar belakang, proses pengambilan keputusan, dan dampak dari kebijakan publik akan membantu masyarakat memahami konteks secara lebih komprehensif.


Penggunaan buzzer

Pelajaran kedua adalah mengurangi ketergantungan pada buzzer. Penggunaan buzzer dan influencer selama masa Jokowi merupakan strategi yang mengundang banyak perhatian publik. Di satu sisi, pendekatan ini memperkuat eksposur isu-isu pemerintah di media sosial, namun di sisi lain, ketergantungan pada buzzer mengurangi keaslian pesan dan menimbulkan kesan komunikasi yang direkayasa. Dampak lainnya adalah fenomena echo chamber, di mana diskusi kebijakan hanya berputar di kalangan tertentu di media sosial, sehingga tidak menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

Bagi pemerintahan Presiden Prabowo, komunikasi yang autentik dan tulus sangat penting untuk membangun kepercayaan publik. Mengurangi ketergantungan pada influencer akan memungkinkan pemerintah lebih fokus pada pesan yang jelas dan langsung, tanpa risiko distorsi yang disebabkan oleh aktor-aktor media sosial eksternal. Pesan yang orisinal dan edukatif, terutama jika disampaikan langsung oleh pemerintah, akan jauh lebih efektif dalam menjangkau dan memenangkan hati rakyat.

Pelajaran ketiga, penggunaan juru bicara tunggal. Tantangan lain yang sering muncul selama pemerintahan Jokowi adalah banyaknya juru bicara dan pernyataan yang terkadang tidak selaras. Inkonsistensi ini memunculkan kebingungan di kalangan masyarakat, terlebih ketika beberapa isu krusial, seperti pandemi atau kebijakan ekonomi nasional, dibahas dengan cara yang tidak seragam.

Govcom Insights, sebuah agensi yang memfokuskan diri pada komunikasi pemerintah, dalam laporannya menekankan pentingnya satu juru bicara utama yang kompeten, yang bertanggung jawab penuh terhadap semua pernyataan publik dari pemerintah.

Dalam pemerintahan Prabowo, langkah ini dapat diimplementasikan dengan menunjuk satu juru bicara yang memiliki kompetensi dalam berkomunikasi dan pemahaman mendalam tentang kebijakan publik. Selain membantu memastikan konsistensi, juru bicara ini akan memperkuat koordinasi di internal pemerintah dan menjaga agar pesan tetap akurat serta mudah dipahami oleh masyarakat.

Pelajaran keempat, pemanfaatan teknologi. Di era informasi yang serba cepat, pemerintahan Prabowo dapat memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) untuk mendukung strategi komunikasi publiknya. Dengan AI, pemerintah bisa menganalisis opini publik secara real-time, mendeteksi tren, dan mengidentifikasi isu-isu yang berkembang dengan cepat. Pemantauan ini memungkinkan pemerintah untuk merespons berbagai situasi secara tepat dan efektif.

Sebagai contoh, AI dapat digunakan untuk mengidentifikasi topik-topik yang sedang ramai dibicarakan masyarakat, serta membantu pemerintah mengatur narasi yang akurat dan relevan. Teknologi ini juga dapat berperan dalam mengantisipasi dan menanggulangi penyebaran disinformasi atau hoaks yang sering kali dapat memicu kebingungan dan kesalahpahaman. Dengan memanfaatkan data dan teknologi, pemerintahan Prabowo akan memiliki kontrol lebih besar dalam menjaga keakuratan dan ketepatan informasi yang disampaikan kepada publik.


Menjaga transparansi

Pelajaran kelima yang bisa dipetik adalah menjaga transparansi. Selama satu dekade terakhir, pendekatan blusukan Jokowi menjadi simbol komunikasi langsung antara pemerintah dan rakyat. Melalui kunjungan langsung ke berbagai daerah, Jokowi berhasil menciptakan ikatan yang kuat dengan masyarakat dan menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu di lapangan. Hanya saja, pendekatan blusukan ini juga memiliki keterbatasan, publik menganggap bahwa hal ini kadang digunakan untuk membangun citra semata, tanpa memberikan solusi nyata.

Di era Prabowo, pendekatan ini bisa diperluas dengan format dialog publik yang lebih terstruktur dan reguler, seperti town hall meetings atau forum-forum terbuka. Ini akan membuka ruang bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka secara langsung, sementara pemerintah juga dapat memberikan penjelasan rinci tentang kebijakan yang diambil. Keterlibatan masyarakat dalam proses dialog ini tidak hanya memperkuat kepercayaan publik, tetapi juga membuat pemerintah lebih responsif terhadap masukan langsung dari rakyat.

Keenam, membangun komunikasi berbasis edukasi. Salah satu kelemahan yang sering terlihat dalam komunikasi pemerintah di era Jokowi adalah kurangnya edukasi dalam penyampaian pesan. Publik sering kali menerima informasi yang bersifat satu arah, tanpa penjelasan yang memadai tentang konteks dan dampak dari kebijakan tersebut. Dalam laporan Govcom Insights, direkomendasikan agar pemerintah lebih banyak memanfaatkan komunikasi yang bersifat edukatif.

Pemerintahan Prabowo dapat mengatasi hal ini dengan menyertakan komponen edukasi dalam setiap kebijakan publik yang disampaikan. Misalnya, untuk kebijakan ekonomi, pemerintah bisa memanfaatkan berbagai media, termasuk infografis dan video edukatif, untuk menjelaskan dampak kebijakan terhadap masyarakat. Dengan strategi komunikasi yang mendidik, masyarakat akan menjadi lebih memahami dan menghargai proses pengambilan kebijakan pemerintah.

Ketujuh, membangun kepercayaan publik yang kuat dan berkelanjutan. Laporan Govcom Insights juga menyimpulkan bahwa pemerintahan Jokowi telah memberikan fondasi kuat dalam membangun komunikasi pemerintah yang merakyat dan transparan. Namun, tantangan yang dihadapi, mulai dari konsistensi pesan hingga keterlibatan buzzer yang berlebihan, perlu diatasi oleh pemerintahan baru agar komunikasi dapat semakin efektif dan relevan di era digital.

Untuk pemerintahan Prabowo, membangun komunikasi yang konsisten, berbasis data, dan responsif terhadap perkembangan zaman adalah langkah penting yang tidak bisa diabaikan. Dengan pendekatan yang lebih adaptif, mendidik, dan berfokus pada dialog langsung dengan rakyat, maka pemerintahan baru dapat memperkuat kepercayaan publik dan menciptakan komunikasi yang inklusif serta berdampak. Ke depan, ini adalah kesempatan bagi Presiden Prabowo untuk mewujudkan visi pemerintah yang dekat dan relevan dengan kehidupan rakyat, menjadikan komunikasi sebagai jembatan untuk mewujudkan perubahan yang berarti.


*) Irwan Hermawan, S.E., MMktgComm, CPR adalah seorang Humas Pemerintah di Kanwil DJP Jakarta Pusat, Ketua Litbang APPRI, Pengajar Komunikasi-Humas di Universitas Indonesia dan Co-Founder Govcom Insights

 

Copyright © ANTARA 2024