Evaluasi implementasi revolusi mental

Keterlibatan oknum pegawai Komdigi maupun dugaan keterlibatan sejumlah pejabat tinggi sesungguhnya ironis dengan cita-cita revolusi mental maupun reformasi kultur yang didengungkan oleh Presiden atau Pemerintah. Hal ini bukan sekali terjadi di negeri kita, bahkan sering kali terjadi, di mana ada suatu permasalahan atau pelanggaran hukum yang dilakukan dengan melibatkan “orang dalam” atau internal.

Bukti bahwa profesionalisme kerja, etik, moral, serta akuntabilitas dan transparansi masih merupakan wacana yang tidak secara penuh atau konsisten dijalankan. Para pegawai ini masih tergiur dengan pemasukan ilegal atau godaan dari mafia atau kartel dan dengan mudahnya melakukan penyalahgunaan kewenangan.

Apa yang terjadi tersebut mengingatkan saya pada beberapa kasus terkait keterlibatan oknum internal dan mafia yang merajalela di Indonesia. Misalnya, terungkapnya kasus suap terhadap hakim untuk pengurusan di Mahkamah Agung, keterlibatan oknum aparat dalam kartel narkoba, keterlibatan aparat dalam jaringan TPPO, hingga kasus suap dan pungutan liar di sejumlah perizinan seperti pada kajian KPK.

Hal ini menandakan bahwa budaya korupsi (suap dan pungli) masih sangat kuat dan banyak serta membutuhkan gebrakan besar untuk melawannya. Ini tantangan bagi Presiden, termasuk menteri maupun pimpinan lembaga terkait lainnya. Setidaknya terdapat sejumlah strategi yang harus menjadi perhatian besar Pemerintah.

Pertama, pentingnya memastikan penegakan hukum yang responsif dan menyeluruh. Pengungkapan jaringan judi online ini layak untuk diapresiasi dan menjadi pintu masuk untuk mengungkap seluruh pelaku tindak pidana terorganisasi terkait lainnya. Penegakan hukum tidak boleh lagi menyisakan celah untuk pelaku "melarikan diri dari penghukuman" dan penyalahgunaan kewenangan oleh aparat. Sistem penegakan hukum harus jelas dan transparan.

Demikian pula pejabat di kementerian dalam menjalankan fungsi penegakan aturan perundang-undangan. Cara-cara luar biasa harus digunakan untuk menghadirkan keberanian mengungkap dan menindak seluruh oknum yang terlibat sebagai cara “bersih-bersih” atau filter terhadap pengaruh mafia.

Hal kedua adalah penguatan terhadap sistem pengawasan. Audit internal dan eksternal perlu untuk dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Whistleblowing system dan evaluasi 360 harus dapat dijalankan secara jelas dan tegas. Meritokrasi kerja pegawai harus didasarkan pada kualitas, profesionalisme, dan integritas pegawai, yang secara objektif dilakukan dengan tolok ukur yang jelas.

Sistem reward and punishment harus tegas dilakukan terhadap pegawai yang memberikan kontribusi terhadap transparansi dan akuntabilitas kerja. Para pegawai juga dapat menikmati reward atau penghargaan dan pelindungan, ketika dapat melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh atasan maupun pegawai lainnya, terutama yang terkait dengan pungli dan suap (whistleblowing).

Demikian pula penguatan terhadap inspektorat dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pegawai, dimulai dari audit atau penilaian yang terukur terhadap rekan kerja dan sistem pengawasan melekat. Prinsip vicarious liability dapat diterapkan untuk mengefektifkan sistem pengawasan dan penggunaan kewenangan secara bertanggung jawab (responsibilitas).

Strategi selanjutnya adalah pembangunan transparansi dan akuntabilitas publik yang konkret dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Setiap lembaga harus berbenah dengan meningkatkan transparansi dan keterbukaan informasi terhadap masyarakat dan membuka akses publik seluas-luasnya. Hal ini untuk memberikan pertanggungjawaban kepada publik tentang responsivitas, jalannya birokrasi, informasi dan layanan publik, akuntabilitas kerja, maupun kualitas hasil atau output kerja.

Strategi ini untuk menghindari adanya dugaan atau asumsi terhadap kinerja birokrasi sekaligus menjadi pengawas terhadap kelemahan atau kekurangan dari sistem dan layanan publik yang dijalankan, sekaligus menutup celah yang dapat dimanfaatkan oleh mafia atau terjadinya pungli.

Terakhir, menurut hemat saya, adalah pentingnya memberikan dukungan sumber daya organisasi yang cukup dan tepat sasaran. Dukungan anggaran dan sumber daya manusia yang memadai terhadap sektor-sektor yang cukup rentan dan strategis harus dapat terpenuhi. Sektor seperti layanan publik dan penggunaan kewenangan harus diisi dengan sumber daya manusia yang terbukti dan teruji profesionalitas dan integritasnya.

Namun di sisi lain juga harus diperhatikan kesejahteraan atau tunjangan kinerja yang memadai. APBN kita jangan sampai terbebani justru dengan pengisian jabatan atau pegawai yang tidak perlu atau alokasi anggaran yang besar ke bidang-bidang yang masih belum menjadi prioritas atau memenuhi kebutuhan publik secara langsung.

Kebijakan harus menyasar pada kebutuhan publik secara langsung, misalnya, kesejahteraan hakim di daerah untuk operasional hakim dan persidangan, anggaran untuk anggota Polri di wilayah-wilayah pelosok terutama bagi anggota yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, atau aparat kesehatan atau kedaruratan yang menjadi first response, atau alokasi untuk pengembangan digitalisasi atau otomatisasi sistem layanan publik dan pengawasan terhadap transparansi dan akuntabilitas layanan.

Hal-hal seperti ini yang seharusnya menjadi prioritas alokasi anggaran suatu kementerian atau lembaga. Strategi ini tentu akan jelas meningkatkan kredibilitas atau tingkat kepercayaan/kepuasan terhadap Pemerintah.

Anggaran dan SDM harus dialokasikan di tempat-tempat yang dapat memperluas jangkauan Pemerintah kepada masyarakat, daripada hanya menambah jabatan atau SDM dan sarana prasarananya, tanpa memikirkan skala prioritas terhadap kebutuhan publik, yang justru akan membebani anggaran.

Pada saat ini, kita tentu akan menunggu bagaimana kelanjutan dari penanganan kasus penyalahgunaan kewenangan di Komdigi maupun kemampuan aparat penegak hukum untuk mengungkap kartelisasi judi yang cukup besar dan berpengaruh di Indonesia.

Kita menunggu keberanian dan ketegasan Pemerintah dalam mengungkap seluruh jaringan dan aktor utama dari mafia judi online, termasuk pengungkapan terhadap pejabat tinggi yang terlibat, hingga tuntas ke akar-akarnya. Lebih jauh lagi, masyarakat juga menunggu bagaimana kebijakan Pemerintah dalam melakukan perbaikan diri (revolusi mental) maupun penguatan transparansi dan akuntabilitas institusi berdasarkan tata kelola yang baik atau good governance dalam rangka meraih kepercayaan masyarakat yang tinggi dan bukan sekadar hasil survei-survei di atas kertas.


*) Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH adalah Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan

Copyright © ANTARA 2024