Kehadiran kapal CCG terdeteksi oleh Pemerintah Indonesia yang langsung direspons dengan pengerahan Kapal Negara (KN) Tanjung Datu 301 milik Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla RI), pesawat patroli udara dan KRI Sutedi Senaputra-378 dari unsur TNI Angkatan Laut.
Kapal CCG, saat itu, mengganggu kegiatan survei dan pengolahan data seismik 3D arwana yang sedang dilakukan oleh petugas PT Pertamina Eats Coral dengan menggunakan MV Geo Coral.
Lewat komunikasi radio, pengawak kapal CCG beralasan hadir di laut itu karena melakukan patroli di wilayah yang mereka klaim masuk yurisdiksi China, "nine dash line" atau sembilan garis putus-putus yang dibuat sendiri di peta China, bukan berdasarkan United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS), seperti yang yang dimiliki Indonesia.
UNCLOS merupakan hukum laut internasional yang mengatur kewenangan negara pantai dan negara kepulauan terhadap wilayah laut. Hukum laut ini terbentuk atas kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Indonesia telah lama mendapatkan pengakuan itu, yakni kewenangan atau telah ditetapkan sebagai negara yang berhak terhadap Laut Natuna Utara pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Karena konvensi itu ditandatangani pada 1982, perjanjian tersebut ditetapkan menjadi UNCLOS 1982.
Dasar inilah yang membuat Indonesia berani mengusir kapal-kapal yang tidak memiliki izin melewati atau beraktivitas di Laut Natuna Utara.
Pada dasarnya tujuan ditandatanganinya konvensi ini bukan untuk membatasi ruang gerak negara lain beraktivitas di Laut Natuna Utara, melainkan untuk mengatur masalah kelautan yang dipercaya akan terjadi di masa akan datang, seperti saat ini.
Komandan KN Tanjung Datu 301 Kolonel Bakamla Rudi Endratmoko menegaskan bahwa jika mengacu pada UNCLOS 1982, Laut Natuna Utara itu sudah sangat jelas merupakan wilayah yurisdiksi Indonesia.
Kembali pada proses pengusiran, apa yang dilakukan oleh kapal patroli Bakamla dan TNI di Laut Natuna Utara berjalan tidak mudah. Meski kapal penjaga keamanan dan penjaga pertahanan di laut Indonesia itu memiliki meriam, senapan mesin, dan peralatan canggih lainnya, pengusiran tetap dilakukan tanpa kekerasan. Sebagaimana amanah yang diberikan oleh negara, mereka hanya melakukan penghalauan dan menghindari konflik menggunakan senjata.
Personel KN Tanjung Datu 301 mengusir kapal CCG lewat komunikasi radio, dengan meminta mereka keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia.
Upaya pihak Indonesia itu berhasil, sebab CCG keluar atau kembali ke laut mereka, namun selang beberapa waktu, tepatnya pada awal pekan keempat Oktober, kapal CCG kembali memasuki Laut Natuna Utara dan bersikeras bahwa hal itu merupakan patroli di yuridiksi mereka. Bahkan, personel kapal CCG itu sempat mengusir KN Pulau Dana 323 yang saat itu tengah berpatroli menggantikan KN Tanjung Datu 301. KN Tanjung Datu, saat itu, kembali ke Natuna untuk mengisi logistik dan pengusiran kembali berhasil dilakukan.
Belum jera, kapal CCG itu kembali lagi, sehingga total upaya pengusiran oleh Indonesia mencapai tiga kali selama Oktober 2024.
Pada kejadian yang ketiga itu, kapal patroli Indonesia juga sempat diminta menjauh dari perairan yang mereka klaim. Akhirnya, KN Tanjung Dana 323 bersama KRI Sutedi Senaputra-378 dan KRI Bontang-907 berhasil mengusir kapal CCG.
Diperketat
Mengingat adanya survei yang dilakukan PT Pertamina East Natuna dan hal lainnya, Laut Natuna Utara dipantau dengan ketat, melalui peralatan yang dimiliki Pemerintah Indonesia, termasuk wilayah perairan lainnya yang juga tidak luput dari pengawasan.
Hal ini dilakukan atas perintah langsung dari pemimpin di Bakamla RI untuk menjamin keamanan dan kenyamanan kepada personel PT Pertamina East Natuna melakukan pekerjaannya, sekaligus untuk menjaga kedaulatan negara di perbatasan dengan negara lain.
Untuk mengoptimalkan pengamanan Laut Natuna Utara, kapal patroli Bakamla dan milik TNI AL diperintahkan bersandar di Kabupaten Natuna, tepatnya di Pos Angkatan Laut (Posal) Sabang Mawang, sehingga lebih mudah untuk mengisi bahan bakar dan keperluan lainnya.
Selama sandar, khususnya KN Tanjung Datu 301, mereka melakukan berbagai kegiatan, seperti menghilangkan karat kapal, mewarnai atau mengecat kembali kapal. Mereka juga melakukan bakti sosial, seperti memberikan bantuan alat permainan kepada lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), mengecat gedung PAUD, memotivasi pelajar PAUD hingga membuka kapal untuk dikunjungi masyarakat atau "open ship".
Tugas di luar pengamanan laut itu dilakukan oleh personel Bakamla untuk mengenalkan lembaga tersebut kepada masyarakat, sekaligus merangsang minat kaum muda untuk menjadi abdi negara lewat badan pengamanan laut itu.
Kapal ikan asing
Selain CCG, kapal ikan asing juga kerap beraktivitas di Laut Natuna Utara, terlebih saat area tersebut tengah dilanda cuaca ekstrem, berupa gelombang tinggi dan angin kencang.
Kapal ikan asing lebih leluasa menjarah hasil perikanan, saat kondisi demikian, karena kurangnya aktivitas nelayan Indonesia di perairan itu, termasuk keberadaan kapal patroli, sebab gelombang tinggi memang menyulitkan kapal beroperasi.
Pada keadaan cuaca ekstrem, kapal ikan asing seperti menjadi penguasa laut yang biasa terjadi pada bulan September, Oktober, November, dan Desember. Pada empat bulan di akhir tahun itu, gelombang di wilayah Laut Natuna Utara bisa mencapai 4 meter hingga 5 meter.
Meskipun demikian, tidak jarang, di bulan-bulan lainnya, kapal asing itu juga datang dan berpapasan dengan nelayan Indonesia. Keberadaan kapal ikan asing di Laut Natuna Utara itu mengganggu mata pencarian nelayan, sebab alat tangkap yang mereka gunakan berbeda jauh. Nelayan Indonesia menggunakan pancing, sedangkan kapal asing diduga menggunakan alat tangkap terlarang, yang sekali digunakan bisa meraup banyak ikan dan merusak ekosistem laut.
Meskipun keberadaan peralatan nelayan Indonesia kalah canggih dari kapal asing, namun kehadiran mereka ke wilayah Laut Natuna Utara juga memiliki makna tersendiri dalam menjaga perairan Indonesia dari ulah kapal asing. Para nelayan juga bisa menjadi mitra bagi penjaga keamanan laut untuk berkolaborasi dengan memberikan informasi kepada petugas Bakamla mengenai keberadaan kapal asing di wilayah laut yang berbatasan dengan negara lain itu.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024