"Masuknya parpol dalam Pilkades berisiko meningkatkan polarisasi dan konflik di tengah masyarakat desa,"
Jakarta (ANTARA) - The Indonesian Institute (TII) menyatakan bahwa usulan untuk melibatkan parpol nasional dalam pemilihan kepala desa (pilkades) dapat menimbulkan sejumlah kekhawatiran terkait dampak terhadap proses demokrasi, serta nilai-nilai tata kelola di tingkat desa.
"Masuknya parpol dalam Pilkades berisiko meningkatkan polarisasi dan konflik di tengah masyarakat desa," kata Peneliti Bidang Politik TII Felia Primaresti di Jakarta, Rabu.
Hal tersebut diungkapkan Felia, menanggapi usulan dari Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Doli Kurnia yang mengusulkan agar pencalonan dalam pilkades menggunakan sistem partai politik resmi.
Menurut Doli, meski saat ini partai yang digunakan di desa bukanlah partai politik terdaftar, tetapi kelompok-kelompok politik lokal seperti "partai nangka" atau "partai pepaya" pada dasarnya sudah menerapkan sistem kepartaian.
Usulan ini, menurut Doli, bertujuan untuk membangun sistem politik yang terstruktur hingga ke tingkat desa.
"Partisipasi parpol nasional dapat membuka potensi konflik kepentingan, dan bahkan intervensi dari aktor politik tingkat nasional maupun lokal," tuturnya.
Ia menambahkan, dengan adanya partisipasi parpol nasional pada pilkades maka ketidaknetralan aparat desa dan ketergantungan kepala desa terhadap parpol yang mengusungnya bisa meningkat.
Sehingga kata Felia, kepentingan masyarakat desa dapat tergeser oleh agenda politik tertentu. Hal ini juga mempengaruhi praktik pilkades dan kearifan lokal yang lebih lekat dengan konteks desa selama ini.
"Termasuk hubungan dengan pemilih dan isu yang diangkat, serta kentalnya relasi di desa," katanya.
Felia mengatakan bahwa penerapan sistem parpol dalam pilkades juga berpotensi mengurangi ruang partisipasi bagi calon independen atau warga desa yang tidak terafiliasi dengan parpol.
Menurut dia, ketika partisipasi parpol nasional masuk bisa jadi, sistem pilkades nantinya menerapkan 'threshold' layaknya di pemilu nasional atau lokal, yang membatasi kesempatan bagi calon-calon tanpa dukungan parpol dan mereka yang berpotensi namun tidak punya modal banyak dibandingkan calon dari partai politik.
"Padahal, demokrasi di desa umumnya berlandaskan nilai gotong royong, kekeluargaan, dan kearifan lokal. Penerapan sistem parpol berpotensi mengurangi aspek partisipatif dan kompetisi terbuka dalam pilkades karena mensyaratkan jalur partai politik," ujarnya.
Lebih jauh, Felia juga menyoroti mahalnya biaya berkompetisi dalam politik, termasuk mahar politik kepada parpol, membuat sistem ini rawan mendorong maraknya politik uang, membatasi peserta dalam pilkades.
Selain itu, dapat mendorong kompetisi yang tidak sehat, serta dapat mengancam integritas dan komitmen pelayanan publik jika pilkades menggunakan sistem parpol.
"Pengalaman nyata sudah kita alami di pemilu dan pilkada," katanya.
Felia menekankan bahwa jika usulan ini akan dilaksanakan, diperlukan harmonisasi dengan aturan terkait lainnya, khususnya UU Pemerintahan Desa.
Felia mengatakan, penting bagi semua untuk mengawal DPR dalam memperbaiki proses legislasi dan memastikan usulan ini melalui proses yang inklusif, partisipatif, serta dilengkapi kajian mendalam dan diskusi yang melibatkan pemangku kepentingan terkait.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024