RUU ini akan dibahas lagi pada Minggu ke-3 Agustus karena saat ini DPR sedang masa reses,"

Jakarta (ANTARA News - Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) ditargetkan pada akhir September sebelum pergantian pemerintahan baru.

"RUU ini akan dibahas lagi pada Minggu ke-3 Agustus karena saat ini DPR sedang masa reses," kata Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan saat diskusi "Penguatan Platform Otonomi Daerah" di Jakarta, Kamis.

"Kami berharap akhir September dua-duanya (RUU Pilkada dan RUU Pemerintahan Daerah) sudah diketok palu. Hal ini karena pemerintahan baru kan mulai Oktober sehingga pemerintahan kedepan tidak terbebani," tambah Djohermasyah.

Selain itu, terkait desentralisasi dan otonomi daerah, saat ini juga sedang dibahas RUU Pemerintahan Daerah (RUU Pemda).

Menurut Djohermansyah, apabila RUU Pilkada dan RUU Pemda sudah disahkan, diharapkan menjadi regulasi baru sebagai platform implementasi otonomi daerah yang lebih baik agar jalannya pemerintahan di daerah lebih efektif dan efisien karena adanya koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan.

"Undang-undang ini nantinya menutup lubang-lubang atau mengisi kekurangan dari undang-undang sebelumnya," ujar Djohermansyah.

"Pilkada biaya tunggi kita hindari, KKN dihapuskan, pilkada terkait dinasti kita buat pagarnya, dan kewenangan-kewenangan kita tata kenbali supaya jangan menyimpang. Sebelumnya dari undang-undang yang sudah ada tidak ada aturan itu," jelasnya.

Desentralisasi dan otonomi daerah dituangkan dalam Undang-UndangNo 22 tahun 1999 dan disempurnakan melalui Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Djohermansyah mengatakan sudah lebih dari 1000 pilkada digelar di Indonesia sejak 1 Juli 2005 namun ternyata banyak terjadi pelanggaran. Ia memamparkan, terdapat 327 kepala daerah yang terjerat kasus yang mana 86 persen diantaranya tersandung kasus korupsi.

Selain itu, sebabnyak 94 persen kepala daerah dan wakilnya memiliki hubungan yang tidak harmonis sehingga pecah kongsi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Ia menambahkan politik dinasti pun semakin marak, setidaknya ada 11 persen politik dinasti dari total kepala daerah yang saat ini sedang menjabat.

"Bahkan dari politik dinasti ini berkembang ke Pileg, banyak yang menang meraih kursi di DPRD dan DPR," jelasnya.

"Meskipun banyak juga lahir gubernur, bupati, wali kota hebat, bahkan ada yang nyalon presiden. Itu buah dari pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun politik uang makin masif, politisasi birokrasi juga, brirokrasi terbelah-belah oleh fraksi-fraksi politik," tambah Djohermansyah.

Ketua Tim Rancangan UU Pemerintahan Daerah Made Setiawan menambahkan saat ini aturan yang membatasi urusan pemerintahan pusat dan daerah belum jelas.

"Saat ini masih abu-abu mana urusan pusat, mana urusan provinsi atau kota. Kalau udah ada UU Pemda, nanti pembagian urusan pusat dan kota jadi jelas sehingga tidak ditabrak di UU sektor. Yang berat itu membagi kewenangan," ujar Made.

"Nanti kementerian-kementrian akan memetakan, misal kementerian pariwisata memetakan daerah mana sih yang unggul di sektor wisata. Saat ini 70-80 persen APBD habis untuk pengurus dan hanya 20 persen untuk pelayanan publik, kapan makmurnya?" tambah Made.
(M047/A029)

Pewarta: Monalisa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014