Jakarta (ANTARA) - Salah satu prioritas 100 hari kerja pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mewujudkan "Satu Data Kemiskinan". Langkah ini diambil agar bantuan sosial yang diberikan lebih tepat sasaran sehingga tingkat kemiskinan pun mampu ditekan. Namun di balik ambisi ini, yang perlu menjadi prioritas juga adalah bagaimana membentuk satu pemahaman dan kesepakatan terkait metodologi pengukuran kemiskinan itu sendiri.
Selama ini, penghitungan kemiskinan dilakukan oleh BPS dengan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan dari sisi pengeluaran.
Kebutuhan dasar itu dilihat dari terpenuhinya konsumsi kalori sebanyak minimum 2.100 kkal dan kebutuhan minimum atas barang non-makanan seperti perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Standar minimum tersebut mengacu pada basket (kelompok) komoditas yang dibentuk pada tahun 1998.
Padahal, pola konsumsi penduduk miskin pun telah berubah seiring berkembangnya zaman. Dari sinilah, banyak kritik dan perdebatan mengenai relevansi metode kemiskinan yang digunakan, terutama terkait garis kemiskinan.
Garis kemiskinan merupakan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan.
Garis kemiskinan terdiri atas garis kemiskinan makanan yang merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang setara 2.100 kkal per kapita per hari, dan garis kemiskinan nonmakanan yang merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan pokok non makanan seperti perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan inilah yang dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Dianggap tidak pas lagi
Lebih dari 25 tahun dari terakhir kali dimutakhirkan, pengukuran garis kemiskinan tersebut dianggap sudah tidak pas lagi untuk memotret kondisi kemiskinan saat ini. Banyak pihak, termasuk akademisi dan lembaga internasional seperti Bank Dunia, menganggap garis kemiskinan BPS terlalu rendah.
Bahkan menurut Bank Dunia pada tahun 2017, garis kemiskinan di Indonesia adalah yang terendah se-Asia Tenggara. Bank Dunia juga merekomendasikan agar garis kemiskinan di Indonesia dinaikkan, agar lebih mencerminkan standar hidup yang layak di masa kini. Apalagi, mengingat Indonesia saat ini sudah naik kelas menjadi negara berpendapatan menengah ke atas, standar kemiskinan harus diperbarui untuk lebih merefleksikan kebutuhan aktual masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah sebenarnya sudah melakukan evaluasi terkait standar pengukuran kemiskinan. Diskusi antarkementerian/lembaga terkait untuk membahas perbaikan metode agar lebih relevan dan representatif juga terus dilakukan. Namun, implementasi perubahan metode tentu tidak mudah. Meningkatkan garis kemiskinan, misalnya, dapat berdampak pada lonjakan angka kemiskinan dalam statistik nasional, yang tentu saja mempengaruhi persepsi publik dan kebijakan.
Jika garis kemiskinan dinaikkan, angka kemiskinan yang tercatat mungkin akan lebih tinggi dari sebelumnya. Namun, hal ini bukan berarti jumlah masyarakat yang jatuh miskin semakin banyak, melainkan karena standar hidup yang semakin meningkat dan cakupan pengukuran kemiskinan yang menjadi lebih mendalam.
Pendekatan ini pada akhirnya bertujuan untuk mengidentifikasi lebih banyak masyarakat yang rentan sehingga mereka dapat diikutsertakan dalam program bantuan sosial Pemerintah. Namun, di sisi lain, peningkatan garis kemiskinan juga berpotensi memengaruhi anggaran sosial dan perencanaan kebijakan pemerintah, karena jumlah penerima manfaat bisa jadi bertambah signifikan. Pemerintah harus menyiapkan anggaran yang lebih besar untuk program pengentasan kemiskinan.
Jika Indonesia mengubah batas kemiskinan, maka banyak hal yang harus disiapkan. Untuk mengantisipasi pembaruan metodologi pengukuran kemiskinan sebaiknya melibatkan persiapan teknis dan metodologis yang komprehensif.
Selain memperhitungkan aspek pengeluaran, BPS perlu mempertimbangkan indikator kesejahteraan lainnya, seperti akses terhadap pendidikan dan kesehatan, kualitas tempat tinggal, serta stabilitas pendapatan rumah tangga.
Pendekatan multidimensi ini dapat memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai kesejahteraan masyarakat. Tantangannya tentu tidak hanya pada aspek teknis, tetapi juga kesiapan masyarakat untuk menerima perubahan data yang lebih akurat ini.
Dukungan dari masyarakat dan pemahaman yang lebih luas tentang garis kemiskinan juga menjadi krusial.
Sosialisasi dan edukasi kepada publik penting agar masyarakat memahami bahwa peningkatan angka kemiskinan yang mungkin terjadi adalah hasil dari metode yang lebih akurat, bukan penurunan kesejahteraan.
Pemerintah juga harus bekerja sama dengan media untuk menjelaskan bahwa data kemiskinan yang baru akan lebih mampu memotret kondisi masyarakat yang sebenarnya. Dengan begitu, persepsi publik tentang data kemiskinan yang lebih tinggi dapat diimbangi dengan pemahaman bahwa bantuan sosial akan lebih tepat sasaran.
Selain itu, dukungan legislasi dan alokasi anggaran yang memadai juga penting untuk memastikan perubahan metode ini berjalan efektif. Legislatif perlu dilibatkan dalam setiap tahap perubahan, agar kebijakan yang dihasilkan lebih berkesinambungan dan didukung oleh anggaran yang mencukupi, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Reformasi pengukuran kemiskinan ini bukan hanya tanggung jawab BPS, tetapi juga membutuhkan sinergi antara berbagai lembaga negara, termasuk kementerian yang menangani bantuan sosial, keuangan, dan pembangunan.
Di ujungnya, langkah menuju Satu Data Kemiskinan yang akurat tidaklah mudah. Namun, ini adalah fondasi yang penting dalam mewujudkan kebijakan pengentasan kemiskinan yang lebih efektif.
Dengan satu pemahaman dan kesepakatan atas metodologi pengukuran yang relevan, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat lebih tepat sasaran, menjangkau kelompok masyarakat miskin yang benar-benar membutuhkan. Pembaruan metode pengukuran kemiskinan ini diharapkan juga dapat mengurangi berbagai persoalan terkait ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.
Pada akhirnya, reformasi standar garis kemiskinan bukan hanya soal perubahan teknis, melainkan bagian dari transformasi cara pandang dan penanganan masalah kemiskinan di Indonesia. Pemerintah perlu menunjukkan komitmen nyata untuk memberikan manfaat bagi mereka yang paling membutuhkan.
Dengan Satu Data Kemiskinan yang lebih akurat, kita berharap kebijakan pengentasan rakyat miskin dapat benar-benar menjawab tantangan kesejahteraan rakyat, mendukung kelompok rentan, dan menghadirkan Indonesia yang lebih sejahtera bagi seluruh warganya.
*) Ayesha Tantriana, Lili Retnosari adalah statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS)
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024