Hak memilih merupakan hak konstitusi yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Pasal 19 Ayat (1), dan Pasal 220 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Di sisi lain, ketentuan hak untuk turut serta dalam pemerintahan diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Di sinilah peran lembaga pemantau pemilihan melakukan edukasi terhadap calon pemilih menjelang Pilkada 2024 secara kontinu, terutama memberi pengetahuan tentang imbas praktik politik uang terhadap demokrasi di Indonesia.
Ambil contoh apa yang telah dilakukan oleh Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jateng di Gedung Pers Jateng, Jalan Tri Lomba Juan Semarang, Kamis (31/10).
Dalam seminar yang diadakan oleh lembaga pemantau dan lembaga penyelenggara pemilu yang bertema Menjadi Pemilih Cerdas dalam Pilgub Jateng 2024 Berkualitas ini juga tidak lepas dari topik atau mengingatkan bahayanya politik uang.
Mappilu PWI Provinsi Jateng mengajak masyarakat menjadi pemilih cerdas supaya pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah serta pilkada di 35 kabupaten/kota di provinsi ini melahirkan pemimpin yang berintegritas.
Lembaga pemantau pemilihan ini mewanti-wanti agar calon pemilih tidak tergiur dengan iming-iming, baik berupa sembako maupun uang, untuk memilih pasangan calon (paslon) tertentu pada tanggal 27 November mendatang.
Masyarakat yang punya hak pilih haruslah seorang pancasilais, penganut ideologi Pancasila yang baik dan setia. Setidaknya ketika ada paslon atau tim sukses peserta pilkada yang akan memberi sesuatu, sebaiknya berani menolaknya.
Kendati tidak terpantau lembaga penyelenggara pemilu maupun lembaga pemantau pemilihan, "transaksi politik" itu tidak luput dari pengawasan Tuhan Yang Mahatahu. Jika calon pemilih tetap istikamah, tidak goyah dengan kesenangan sesaat, mereka betul-betul menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam Pilkada 2024.
Hak konstitusional rakyat juga perlu dijaga, setidaknya dengan empat kebenaran: Agama (menurut ajaran masing-masing); Pemerintah (segala bentuk peraturan perundang-undangan, termasuk putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi); Norma (aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat); Hati nurani (perasaan hati yang murni).
Dalam ajaran agama Islam, praktik politik uang (money politic) diharamkan karena tergolong suap. Rakyat yang cerdas dan beragama akan berpikir panjang sebelum menerima uang dan/atau sembako dengan tujuan memilih paslon tertentu dalam pilkada.
Apalagi, dalam pemilihan kepala daerah, baik pemberi maupun penerima uang dapat dikenai pidana penjara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Dalam UU Pilkada Pasal 187A ayat (1) menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Disebutkan dalam Pasal 73 ayat (4) UU Pilkada, selain calon atau pasangan calon, anggota partai politik, tim kampanye, dan sukarelawan, atau pihak lain juga dilarang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu
Hukuman pidana penjara ini juga berlaku kepada pemilih. Vide Pasal 187 A ayat (2) yang menyebutkan pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Apabila pemilih mengabaikan dua kebenaran (agama dan peraturan perundang-undangan) tersebut, tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain karena berpotensi melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas.
Lagi pula, jika pemimpin di suatu daerah dilahirkan lewat praktik politik uang plus sembako, akan jauh dari sifat sidik (jujur), amanah (dapat dipercaya), tablig (menyampaikan kebenaran), dan fatanah (cerdas).
Di lain pihak, calon pemilih, sebelum menentukan pilihan seyogianya berpijak pada norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat, khususnya konteks perpolitikan.
Kalau perlu pemerintah daerah dan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, memfasilitasi pembentukan "Kampung Antipolitik Uang" di seluruh kabupaten/kota guna mencegah terjadinya money politic setiap kali pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, ada aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat di kampung tersebut.
Seperti diketahui bahwa dalam sistem kepemiluan di Tanah Air, masyarakat yang punya hak pilih mau tidak mau memilih peserta pilkada yang berasal dari partai politik atau gabungan partai politik dan pasangan calon perseorangan.
Di sinilah hati nurani pemilih yang akan menentukan dengan melihat rekam jejak peserta Pilkada 2024. Hal ini mengingat mereka yang terpilih sebagai pasangan calon itu tidak terlepas dari kehendak Tuhan.
Dalam posisi ini, lembaga pemantau pemilihan seyogianya menjaga hak-hak konstitusi warga negara Indonesia agar tetap di koridor empat kebenaran.
*) D.Dj. Kliwantoro, Ketua Dewan Etik Masyarakat dan Pers Pemantau Pemilu (Mappilu) PWI Provinsi Jawa Tengah
Copyright © ANTARA 2024