"Kenapa karena ini implikasinya besar sekali. Satu, undang-undangnya harus diubah, kalau mau ubah UU itu waktunya tidak bisa dalam tiga bulan. Ini alasan dari segi legalnya," ujarnya di Jakarta, Rabu (16/7) malam.
Ia mengatakan persoalan tersebut perlu dibahas karena mekanisme DJP di Indonesia berbeda dengan di negara lain.
Misalnya, katanya, lembaga pemerintah federal Amerika Serikat yang mengumpulkan pajak dan menetapkan hukum pendapatan dalam negeri Internal Revenue Services (IRS).
Menurut dia, yang membedakan kedua lembaga tersebut adalah bahwa IRS sama sekali tidak turut campur dalam pembuatan kebijakan, karena tugasnya hanya mengumpulkan pajak dan bekerja sama dengan lembaga hukum untuk melakukan tindakan peradilan bila terdapat wajib pajak yang mangkir.
"Pada proses inilah yang membedakan dengan struktur DJP di Indonesia. Karena DJP punya objektivitas untuk menerima revenue (pendapatan). Kalau dengan IRS saya tanya, kalian diberikan beban revenue, mereka bilang tidak," ujarnya.
Ia mengatakan DJP diberikan beban revenue karena melihat Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan semangat pengumpulan pajak harus terus ditingkatkan, mengingat UU Keuangan Negara mengatur defisit anggaran yang tidak boleh lebih dari tiga persen.
"Nah, sekarang kalau dipisah, ini bagaimana dengan policy (kebijakan) ini. Kalau tugasnya hanya mengumpulkan saja, ini yang nanti harus duduk dahulu, hati-hati karena kalau tidak, Indonesia mencontoh IRS, sehingga defisit bisa lebih dari tiga persen dan menyalahi UU," katanya.
Menurut dia, hal tersebut harus dilihat dalam kerangka koordinasi makro dengan duduk dan membicarakannya pada pemerintahan baru yang akan mulai bertugas pada akhir 2014.
(S038/M029)
Pewarta: Sella P Gareta
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014