Jakarta (ANTARA News) - Direktur Riset dan Program The Habibie Center, Prof. Dewi Fortuna Anwar, berpendapat keputusan panitia Nobel Perdamaian Dunia tahun 2006 yang memilih Muhammad Yunus merupakan sebuah upaya menunjukkan bahwa perdamaian tidak lagi dipandang secara sempit, yakni pembebasan dari konflik atau perang.
"Keputusan Panitia Nobel menunjukkan bahwa mereka tidak lagi memandang makna perdamaian dalam artian yang sempit. Perdamaian bukan cuma damai tanpa perang atau konflik, tapi damai harus juga terwujud lewat struktur ekonomi yang lebih baik," kata Dewi kepada ANTARA, di Jakarta, Sabtu.
Lebih lanjut Dewi menjelaskan bahwa pemberian nobel perdamaian kepada Muhammad Yunus dan Bank Grameen sejatinya mengingatkan kita bahwa perdamaian yang lebih utama justru terletak di pengentasan kesenjangan ekonomi.
"Selama 30 tahun Yunus dan Bank Grameen mengembangkan sistem peminjaman uang kepada rakyat kecil tanpa jaminan. Yunus sebagai ekonom tidak berhenti di teori-teori, tapi dia mengaplikasikan kredit mikro kepada kaum dhuafa, yang terbukti amanah dengan pinjaman yang diberikan," kata penulis buku "Indonesia at Large: Kumpulan tulisan mengenai ASEAN, Kebijakan Luar Negri, Keamanan dan Demokratisasi" itu.
Dewi sendiri mengaku sempat terkejut dengan hasil pemilihan penerima Nobel Perdamaian tahun ini, "Tapi setelah dipelajari, saya rasa keputusan panitia nobel sangat masuk akal, dan saya menyambut baik Yunus sebagai penerima nobel perdamaian."
Di Bangladesh, menurut Dewi, Yunus dan Bank Grameen menyalurkan kredit mikro kepada berjuta orang dan hampir 100 persen perempuan.
"Ini merupakan upaya yang sangat bagus memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berperan lebih banyak lagi di masyarakat, dan karena selama ini kesenjangan ekonomi sangat dirasakan oleh kaum perempuan," ujar dia.
Dewi menegaskan bahwa terpilihnya Muhammad Yunus sebagai penerima nobel perdamaian adalah momentum yang sangat baik untuk menemukan keseimbangan ekonomi, sosial, dan politik di Indonesia.
Ia berpendapat, konflik-konflik di dunia dan di tanah air kebanyakan bersumber dari ketimpangan ekonomi atau alasan kekuasaan terhadap sumber daya ("resources").
"Konflik yang terjadi di dunia ini jarang yang murni diakibatkan oleh kepentingan politik, kebanyakan di dasarkan oleh kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap sumber daya, ini ekonomi," katanya.
Dewi mencontohkan konflik di dalam negeri juga kebanyakan muncul akibat kepentingan atas sumber daya. "Kalau murni konflik komunal, di Ambon seharusnya sudah dari dulu-dulu umat Islam-Kristen berperang, yakni ketika agama Islam mulai masuk ke kawasan itu."(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006