Pemerintah bisa mengkaji skema insentif QRTC.
Jakarta (ANTARA) - Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyarankan pemerintah untuk mengkaji insentif Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) guna menindaklanjuti pembebasan pajak korporasi (tax holiday) untuk perusahaan multinasional.

QRTC adalah kredit pajak yang dapat dikembalikan dan diberikan kepada wajib pajak yang memenuhi syarat tertentu. Artinya, jika jumlah kredit pajak lebih besar dari kewajiban pajak yang harus dibayar, sisa kredit tersebut akan diberikan kembali kepada wajib pajak dalam bentuk pengembalian dana.

“Pemerintah bisa mengkaji skema insentif QRTC. Skema ini yang mulai ramai digunakan pasca adanya pajak minimum global terutama di negara maju seperti Amerika dan Eropa,” kata Fajry saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Pemerintah baru merilis aturan soal perpanjangan tax holiday melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024. Korporasi di industri pionir bisa mengajukan pembebasan pajak penghasilan (PPh) badan hingga 100 persen, sehingga tarif efektif bisa mencapai 0 persen, sampai dengan 31 Desember 2025.

Namun, ada ketentuan yang berbeda bagi perusahaan multinasional seiring dengan aturan pajak minimum global sebesar 15 persen.

Bila fasilitas pengurangan PPh badan menyebabkan tingkat pajak efektif yang dibayarkan di bawah 15 persen, maka perusahaan akan dikenai pungutan pajak tambahan minimum domestik.

“Bagi yang perhitungan proyeksi investasinya menjadi feasible karena adanya tax holiday, kini dengan adanya pajak tambahan ini maka Return on Investment (ROI) atas investasinya bisa jadi tidak feasible lagi. Untuk itu, pemerintah perlu memberikan solusi bagi investasi dengan kondisi seperti itu,” ujar Fajry.

Selain Amerika dan Eropa, menurut dia, negara anggota ASEAN juga ada yang mulai menggunakan skema QRTC, yakni Vietnam.

Kendati begitu, ia mengingatkan penerapan QRTC di Indonesia masih perlu dikaji.

“Kita perlu mengkajinya dahulu. Ini mungkin akan berguna bagi investasi dengan ROI yang tidak mencukupi,” katanya lagi.

Secara umum, dia menilai perpanjangan tax holiday dapat mendorong investasi, terutama bagi investasi dengan besaran ROI yang tidak mencukupi. Dengan adanya fasilitas tax holiday, besaran ROI menjadi cukup dan proyek investasi tersebut menjadi feasible untuk dijalankan di Indonesia.

Namun, dia mengingatkan pemerintah untuk juga menjalin komunikasi dengan para pelaku usaha untuk memberikan kepastian berusaha, termasuk dari sisi fiskal.

“Dan yang paling penting, dari penerimaan yang dihasilkan dari pajak minimum global, pemerintah perlu gunakan untuk memperbaiki iklim investasi. Jadi, meski insentif berkurang tapi dapat di-offset dari perbaikan iklim usaha. Ini bisa jadi solusi,” ujarnya pula.
Baca juga: Menteri Rosan akui "tax holiday" berperan 25 persen terhadap investasi
Baca juga: Kemenkeu perpanjang tax holiday hingga 31 Desember 2025


Pewarta: Imamatul Silfia
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024