Jakarta (ANTARA News) - Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa Budi Mulya akan menghadapi sidang pembacaan vonis hukuman di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu.
Budi Mulya menjadi terdakwa perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank itu sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 17 tahun serta denda Rp800 juta subsider delapan bulan kurungan dan kewajiban membayar uang pengganti Rp1 miliar subsider tiga tahun kurungan kepada Budi Mulya (BM).
"Apa yang diyakini KPK, ada fakta perbuatan melawan hukum yang diduga dilakukan BM. Sanksi yang seyogyanya diterima BM sudah dirumuskan dalam tuntutan dan semoga hakim sependapat dengan tuntutan KPK," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat di Jakarta, Rabu.
Budi Mulya diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian FPJP kepada Bank Century dan penetapan bank itu sebagai bank gagal berdampak sistemik.
"Kebijakan hanyalah cover untuk menyembunyikan sarana perwujudan delik berupa perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan," tambah Bambang.
Kebijakan-kebijakan yang dianggap sebagai tameng perbuatan melawan hukum tersebut, menurut Bambang, antara lain terlihat dalam proses pemberian FPJP.
"Perbuatan itu dilakukan dengan cara, Bank Century yang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan FPJP karena nilai CAR (rasio kecukupan modal) dan jaminan aset kredit diberikan FPJP setelah Peraturan BI diubah," ungkap Bambang.
Selanjutnya, meski kebijakan sudah diubah dan CAR Bank Century sudah berada pada posisi negatif 3,53 persen tapi FPJP tetap diberikan dengan menyajikan data yang keliru.
Lalu ada dugaan pemalsuan fakta akte pencairan FPJP karena akte ditandatangani pada 15 November 2008 pukul 02.00 tapi disebut ditandatangani pada 14 November 2008 pukul 13.30 WIB.
"Dalam penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, juga dapat dikualifikasi tindak pidana dan bukan kriminalisasi kebijakan publik," ungkap Bambang.
Fakta persidangan, ia mengatakan, menegaskan bahwa Budi Mulya dan pihak lain di Bank Indonesia telah mengabaikan hasil pemeriksaan on-site supervisi Bank Indonesia sendiri atas Bank Century.
Sesungguhnya, sejak 2005-2008 Bank Indonesia sudah menemukan banyak pelanggaran Bank Century atas Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), kredit fiktif, letter of credit fiktif, dan pembiayaan fiktif tapi tidak ditindak. Bank Indonesia pun mengabaikan rekomendasi untuk menutup Bank Century.
Bank Indonesia juga mengakui bahwa per 31 Oktober 2008 CAR Bank Century adalah negatif 3,53 persen dan kebutuhan dana maksimal untuk memenuhi syarat CAR 8 persen adalah Rp4,7 triliun, artinya CAR Bank Century tidak layak mendapatkan talangan karena Peraturan Bank Indonesia yang baru mengharuskan minimal CAR 0 persen.
Selain itu kebutuhan dana talangan hanya Rp4,7 triliun membengkak hingga Rp6,7 tiliun.
"Pengusulan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik juga dilakukan dengan pembuatan analisis yang menunjukkan seolah bank itu berdampak sistemik dengan menyediakan data yang tidak sebenarnya misalnya disebut surat-surat berharga valuta asing bank lancar padahal macet," jelas Bambang.
Bank Indonesia juga menyajikan kebutuhan dana yang seolah kecil untuk menutupi kebutuhan dampak sistemik sehingga dana yang dibutuhkan membengkak dari semula Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun.
"Semua tindkan itu adalah suatu perbuatan dari terdakwa dan pihak-pihak lain di BI dan pejabat berwenang lainnya," tegas Bambang.
Selain menyeret pejabat Bank Indonesia, KPK juga memasukkan nama mantan pemilik Bank Century Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi dalam perkara itu.
"Ini akan menjadi argumen Pemerintah Indonesia dalam menarik kembali sengketa di Arbitasi Internasional," kata Bambang.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2014