Jakarta (ANTARA News) - Kata-kata "saudara" dan "patriot bangsa" menjadi penyejuk saat berkampanye atau berdebat oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.
Ketika suasana panas di tengah perdebatan capres dan cawapres, atau saat berkampanye, tak bisa dipungkiri bahwa kata-kata "saudara" dan "patriot bangsa" menjadi penyejuk suhu politik yang bermakna dalam.
Dengan disebutkannya kata saudara dan patriot bangsa itu, itu menjadi pesan kuat dari negarawan kepada rakyat bahwa kedua pasangan itu adalah putra terbaik bangsa yang akan memberikan yang terbaik pula kepada bangsa dan negaranya.
Saat berkampanye di Lapangan Madugono Sukoharjo, Jawa Tengah, pada pekan terakhir Juni lalu, calon presiden Prabowo Subianto menyatakan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah patriot bangsa dan putra terbaik Indonesia.
"Joko Widodo-Jusuf Kalla tetap saudara," katanya.
Sehubungan itu, ia mengingatkan pendukungnya untuk tetap bersemangat, tetapi jangan berlebihan atau menimbulkan permusuhan karena hanya berbeda program, pendapat dan gaya.
"Semangat boleh, tapi jangan bermusuhan," tegas mantan Danjen Kopassus itu.
Prabowo juga mengingatkan pendukungnya untuk tidak gampang diadu domba.
Joko Widodo juga tak kalah tegasnya untuk menyatakan Prabowo Subianto juga sebagai patriot bangsa.
"Pak Prabowo juga patriot bangsa," kata Jokowi.
Arti patriot menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pencinta atau pembela Tanah Air. Dengan demikian, Prabowo dan Jokowi telah saling mengakui bahwa mereka adalah pencinta dan pembela Tanah Air.
Kedua pasangan capres dan cawapres itu juga menunjukkan kenegarawanan mereka sehingga wajar diusung menjadi calon pemimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Sebagai putra terbaik Indonesia, kedua pasangan capres dan cawapres itu selalu meminta pendukungnya untuk saling menghormati dan menjauhi sikap bermusuhan.
Prabowo selalu menunjukkan sikap kenegarawanannya dengan menganggap Joko Widodo sebagai saudaranya, dan Jusuf Kalla sebagai seniornya. Dalam debat calon presiden, ia juga menunjukkan secara tegas sikapnya yang mau menghargai perbedaan pendapat dan mengakui pendapat lawan politiknya.
Sikap kedua pasangan capres-cawapres itu berperan dalam menciptakan kondisi kondusif di masa kampanye dan pencoblosan kertas suara pilpres.
Namun, suhu politik memanas tinggi setelah sejumlah lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat berbeda. Lembaga survei SMRC, LSI, Indikator, CSIS-Cyrrus, Kompas, dan RRI menempatkan pasangan Jokowi-JK unggul dengan rata-rata suara 52 persen dari Prabowo-Hatta dengan rata-rata 47 persen.
Namun, tiga lembaga survei lain yakni Puskaptis, JSI, dan LSN, justru menyatakan kemenangan berada di kubu Prabowo-Hatta, meski selisih suaranya sangat tipis.
Hasil hitung cepat ini yang segera mendapatkan respons dari kedua pasangan capres dan cawapres itu. Keduanya mengklaim sebagai pemenang berdasarkan hasil hitung cepat sehingga sangat berpotensi menimbulkan gesekan dan bentrokan di basis pendukung kedua pasangan capres dan cawapres tersebut.
Kondisi yang memanas itu segera direspons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan memanggil kedua pasangan tersebut ke rumah pribadinya di Puri Cikeas Bogor pada malam harinya.
Presiden dalam kesempatan itu meminta pasangan capres dan cwapres menahan diri untuk tidak mengekspresikan kegembiraan secara berlebihan, serta meminta semua pihak mengawal penghitungan suara resmi dari KPU. Presiden juga meminta TNI dan Polri terus bersiaga dan bekerja sampai hasil akhir rekapitulasi suara.
Dalam percakapan jarak jauh dengan Presiden, Panglima TNI Jenderal Moeldoko menyatakan bahwa TNI berada pada siaga tertinggi untuk memastikan keadaan aman terkendali.
Hitung KPU
Melihat kondisi memanas yang bisa berujung pada bentrokan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dituntut segera merampungkan rekapitulasi hasil pemilu secara jujur, adil dan tepat waktu.
Pemenang pilpres ditentukan KPU, bukan hitung cepat lembaga survei. Hitung cepat merupakan bentuk partisipasi dan kontrol masyarakat atas pelaksanaan pilpres, sedang hasil resmi pilpres ditetapkan oleh KPU.
Karena selisih hitung yang tipis berpotensi menimbulkan kecurangan dalam rekapitulasin hasil pilpres mulai dari tingkat terendah hingga KPU pusat, maka penghitungan hasil hitung suara pilpres secara manual harus jujur, tanpa kecurangan dan tepat waktu.
KPU telah menyebutkan pihaknya mulai 12-15 Juli melakukan rekapitulasi di tingkat desa/kelurahan yang dikelola oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Rekapitulasi di tingkat kecamatan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) pada 13 - 15 Juli, di tingkat kabupaten-kota oleh KPU setempat mulai 16 - 17 dan di KPU provinsi pada 18 - 19 Juli.
Tahapan terakhir rekapitulasi penghitungan perolehan suara di tingkat Pusat selama tiga hari mulai 20 - 22 Juli.
Pada 22 Juni 2014, KPU sudah mengumumkan pasangan presiden dan wakil presiden yang memenangkan pilpres.
Selisih suara yang tipis akan memacu dinamika politik di kedua makin tinggi, terlebih mereka dimenangkan masing-masing oleh lemgaga survei. Sementara itu, sejumlah kepala daerah terlibat sebagai tim pemenangan di kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK.
Untuk menjaga pilpres tak berubah anarkis, kepala daerah harus bisa menjaga netralitasnya saat rekapitulasi perolehan suara di daerahnya dilaksanakan. Kepala dan wakil kepala daerah yang menjadi pendukung pasangan Prabowo-Hatta mencapai 18, sedang pendukung Jokowi-JK ada sembilan.
Melihat kondisi Indonesia yang memanas, masyarakat kini menggantungkan harapannya kepada KPU untuk melaksanakan rekapitulasi perolehan suara pilpres secara jujur dan adil, tidak curang serta tepat waktu.
KPU sebagaimana disampaikan komisionernya, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, pihaknya belum menemukan kendala dalam merekapitulasi suara pilpres.
Meski demikian, ia mengimbau semua pihak, termasuk saksi-saksi dari masing-masing pasangan capres/cawapres, untuk mengawasi rekapitulasi suara mulai dari tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa/kelurahan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), di KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, hingga KPU RI.
Pengumuman hasil penghitungan suara pilpres itu sendiri bisa diundur jika ada kondisi darurat yang memungkinkan hal itu terjadi.
Sehubungan itu, meski lembaga survei telah memanaskan situasi dengan hasil hitung yang berbeda, pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK hendaknya bersabar menunggu hasil rekapitulasi di tingkat KPU pusat. Kalau tak ada aral melintang, KPU sudah bisa mengumumkan pemenang pilpres pada 22 Juli mendatang.
Banyak pihak meyakini kondisi masyarakat akan tetap kondusif, meski panas, karena kenegarawanan dan patriotisme yang ditunjukkan pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi- JK.
Kedua pasangan itu juga menyatakan komitmen mereka untuk mendukung pasangan capres dan cawapres yang mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.
Capres Prabowo seusai debat capres pada Minggu (15/6) lalu telah menunjukkan kenegarawanannya dengan mengatakan, "Siapa pun yang menang, yang penting kita makmur, aman. Itu maunya Prabowo Subianto, Hatta Rajasa dan koalisi kami."
Jika nanti pasangan lawannya yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo mengatakan, dia dan koalisinya menghormati keputusan tersebut sebagai amanah dari rakyat Indonesia.
"Kalau rakyat memberi mandat ke Pak Joko Widodo dan Pak Jusuf Kalla, kami akan hormati. Yang terpenting Indonesia aman, selamat dan makmur," katanya.
Sehubungan itu, sebaiknya kedua pasangan capres dan cawapres itu menahan diri sambil menunggu keputusan resmi dari KPU, terlebih mereka adalah negarawan dan patriot bangsa.
(H009/Z002)
Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014