Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi dr. Kartiwa Hadi Nuryanto, Sp.OG(K)Onk mengatakan bahwa kanker endometrium atau kanker dinding rahim bisa terjadi karena pengaruh gaya hidup saat ini yang cenderung tidak sehat dan menjelaskan cara mengobatinya dengan tepat sesuai anjuran dokter.
"Secara keilmuan, kanker endometrium (bisa terjadi karena) lebih ke lifestyle (gaya hidup)," kata Kartiwa saat dihubungi ANTARA melalui pesan singkat di Jakarta, Senin.
Dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu menambahkan, "Lifestyle sekarang membuat seorang perempuan lebih tinggi terhadap paparan estrogennya (dan bisa menjadi salah satu penyebab kanker endometrium)".
Sebagai informasi, hormon estrogen dalam tubuh berguna untuk membantu perkembangan seksual, sekaligus mengatur siklus menstruasi dan memengaruhi seluruh sistem reproduksi perempuan bersama hormon progesteron. Jika hormon estrogen berlebihan, hal tersebut dapat membahayakan kesehatan.
Baca juga: Mengenal kanker dinding rahim, pernah diidap artis senior Dina Mariana
Tingkat hormon estrogen yang tinggi dapat meningkatkan faktor risiko kanker payudara dan kanker ovarium. Bahkan, American Cancer Society (ACS) menyebut bahwa dominasi hormon estrogen juga dapat meningkatkan risiko kanker endometrium.
Sementara itu, kanker endometrium terbagi atas 2 (dua) tipe, yaitu tipe 1 yang bergantung pada hormon estrogen dan tipe 2 yang tidak bergantung pada hormon estrogen.
"Untuk tipe 1, semua paparan yang akan meningkatkan produksi hormon estrogen berlebihan akan meningkatkan faktor risiko untuk terjadinya perubahan sifat sel endometrium menjadi sel kanker," kata dokter yang kini berpraktik di RSU Bunda Jakarta itu.
"Sedangkan untuk tipe 2, mutasi terhadap sel endometrium yang terjadi spontan akan mengubah sel endometrium menjadi sel kanker," sambungnya.
Ada sejumlah faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya kanker endometrium. Mulai dari obesitas (kegemukan), tidak mempunyai anak, kurang olah raga, hingga adanya riwayat kanker endometrium dan ovarium di dalam keluarga.
Baca juga: BKKBN: Perempuan berhubungan seksual sebelum 20 tahun berisiko kanker
"Intinya adalah yang menyebabkan paparan pada hormon estrogen berlebihan," kata dokter yang juga tergabung dalam Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tersebut.
Lebih lanjut, gejala kanker endometrium umumnya berupa perdarahan pada vagina yang abnormal. Jika vagina mengalami perdarahan tidak biasa (di luar masa menstruasi), sebaiknya waspadai bahwa hal tersebut dapat menjadi salah satu tanda dari kanker endometrium.
"Karena seorang perempuan kadang tidak mengindahkan keluhan perdarahan pervaginam yang abnormal dan enggan untuk memeriksakan diri, maka kadang kanker endometrium ditemukan pada stadium lebih lanjut," kata Kartiwa.
Meski demikian, kanker endometrium dapat dideteksi secara dini dengan melakukan pemeriksaan ketebalan lapisan endometrium pada kasus perdarahan yang abnormal.
Apabila diperlukan, dokter akan melakukan pengambilan jaringan endometrium pada pasien untuk diperiksa secara patologi anatomi.
Baca juga: Komunitas perempuan marginal dapat tes HPV gratis cegah kanker serviks
Jika pasien terdiagnosis menderita kanker endometrium, maka dokter akan melakukan tatalaksana untuk pengobatan pasien. Tatalaksana kanker endometrium dapat berupa tindakan pembedahan, radiasi, dan kemoterapi.
Nantinya, dokter akan melakukan tindakan pengobatan sesuai kebutuhan.
"Pada kasus di mana seorang perempuan belum mempunyai anak atau masih ingin mempertahankan rahimnya, tatalaksana hormonal masih bisa dipertimbangkan selama masih dalam stadium awal," kata Kartiwa.
Ketika pasien sudah dinyatakan sembuh dari kanker endometrium, dokter menyarankan agar pasien tetap melakukan pola hidup sehat guna menghindari kekambuhan kanker di masa depan.
Kekambuhan kanker endometrium bergantung pada tipe sel, stadium, tatalaksana yang diberikan, dan bagaimana gaya hidup sesudah tatalaksana atau tindakan pengobatan dari dokter.
"Tipe 1 memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan tipe 2, (dan) stadium awal juga akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan stadium lanjut," kata Kartiwa.
"Tatalaksana yang tepat dan tidak terputus juga akan memberikan prognosis yang lebih baik," katanya mengakhiri perbincangan.
Baca juga: Perempuan menunggu benar-benar sakit baru berobat
Pewarta: Vinny Shoffa Salma
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024