Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dr. Detrianae, Sp.JP(K) mengingatkan, penderita obesitas dan hipertensi yang tak terkontrol sebaiknya tidak mengikuti ajang lari maraton karena dikhawatirkan meningkatkan potensi terjadinya risiko kesehatan yang tidak diinginkan.

Pada penderita obesitas dengan indeks massa tubuh (BMI) di atas 30, ujar Detrianae, yang dikhawatirkan yaitu munculnya problem pada lutut atau cedera pada sistem muskuloskeletalnya. Dengan berat badan yang tidak ideal, maka orang tersebut tidak akan mencapai manfaat kesehatan yang efektif apabila memaksakan diri untuk mengikuti maraton.

“Tidak usah ngonyo dulu (memaksakan diri). Makanya, modifikasi gaya hidup. Sembari berolahraga yang lain, PR lain dikerjakan seperti defisit kalori, kurangi kolesterol, dan sebagainya. Semua itu sejalan, mengikuti semua,” kata Detrianae dalam siaran sehat Kemenkes secara daring di Jakarta, Senin.

Detrianae menyarankan penderita obesitas untuk memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kondisi tubuhnya. Jika berat badan ideal sudah tercapai dan kapasitas fungsionalnya sudah ideal, maka pasien diperbolehkan untuk berolahraga dengan intensitas yang lebih tinggi.

Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting terhadap tercetusnya penyakit diabetes melitus. Detrianae juga mengingatkan, calon pelari maraton harus berada dalam kondisi kadar gula darah yang terkontrol. Oleh sebab itu, penting bagi calon pelari untuk melakukan tes kesehatan (medical check up/MCU) setidaknya dua bulan sebelum lomba maraton.

Ia menyebutkan, kadar gula darah dalam kondisi normal dengan indikator HbA1c yaitu di bawah 5,7 persen. Indikator normal lainnya, kadar gula darah puasa kurang dari 126 mg/dL dan kadar gula darah setelah makan kurang dari 140 mg/dL.

Ia mengatakan, pelari yang mengalami hipoglikemia atau kadar gula darah di bawah 70 mg/dL serta hiperglikemia atau kadar gula lebih dari 140 mg/dL dikhawatirkan pingsan bahkan hingga berujung pada serangan jantung atau henti jantung (cardiac arrest).

“Kalau diabetes, dia sudah minum obat, sudah dapat insulin misalnya, sudah stabil, itu boleh. Jadi dia harus cek dulu. Jangan sampai tiba-tiba olahraga, minum obat, tidak makan, terus dia hipoglikemi, lalu pingsan. Nah, itu berbahaya sekali,” katanya.

Pada dasarnya, semua jenis olahraga dapat meningkatkan tekanan darah, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan. Namun pada penderita hipertensi, Detrianae mengingatkan agar calon pelari dapat mencapai kondisi yang terkontrol terlebih dahulu yaitu tekanan darah di bawah 140/90 mmHg saat dilakukan MCU.

Ia juga mengingatkan bahwa hipertensi merupakan risiko penyakit jantung koroner. Oleh sebab itu, sama seperti penderita obesitas, penderita hipertensi harus untuk melakukan MCU terlebih dahulu jika memiliki niat untuk mengikuti lomba maraton.

“Jadi turunkan dulu (hipertensinya), dapat obat. Kalau sudah terkontrol dan stabil, olahraga. Sama, kok, nantinya dia boleh latihan dengan intensitas low to intermediate 150 menit per minggu (kalau sudah stabil),” katanya.

Menurut Detrianae, MCU sebenarnya tidak hanya diperlukan bagi penderita obesitas maupun hipertensi melainkan seluruh calon pelari maraton. Apalagi, ujar dia, kebanyakan orang tidak menyadari bahwa dirinya memiliki faktor risiko tertentu atau merasakan gejala tertentu.

MCU untuk tujuan lari maraton juga berbeda dengan MCU biasa. Pada MCU khusus maraton ini, terdapat pemeriksaan penunjang yaitu exercise test dengan menggunakan cardiopulmonary exercise testing (CPET).

“Saran kami adalah berolahragalah dengan tepat. Kemudian yang penting aman, untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita inginkan sampai dengan sudden cardiac death. Jadi, mencegah lebih baik daripada mengobati,” kata Detrianae.

Baca juga: Kiat mempersiapkan kondisi fisik sebelum ikut maraton
Baca juga: Kalangan anak muda di China kian gemar aktivitas berlari dan maraton
Baca juga: Dokter rekomendasikan pelari untuk MCU dua bulan sebelum ikut marathon

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024