Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) memandang bahwa ujian nasional (UN) dibutuhkan untuk kembali dilaksanakan di satuan pendidikan sebagai standar minimum yang harus dicapai peserta didik, dengan catatan harus disertai dengan perbaikan konsep.

“Mungkin namanya boleh diredefinisi dan modelnya tidak seperti yang ada sekarang (UN sebelum era kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek). Tapi bahwa ujian itu harus ada, menurut kami iya, betul,” kata Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Unifah mengatakan, pelaksanaan ujian nasional diperlukan untuk membantu mempersiapkan peserta didik ke jenjang selanjutnya. Konsep serta teknis pelaksanaan ujian tersebut memerlukan rumusan yang dikaji oleh para ahli terlebih dahulu. Penyelenggara ujian juga perlu melibatkan tim independen di luar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen).

“Kami PGRI siap juga. Kita punya ahlinya juga untuk berdiskusi, diajak serta berdiskusi untuk menentukan kira-kira mata pelajaran apa saja yang akan diujikan dan bagaimana bentuknya,” kata dia.

Ia menyadari atas kritik yang masuk mengenai jumlah mata pelajaran yang dinilai terlalu banyak dan tumpang-tindih satu sama lain. Oleh sebab itu, menurutnya, ujian nasional dalam konsep baru mendatang bisa dipilih beberapa mata pelajaran yang dijadikan indikator bagi peningkatan kualitas pencapaian pendidikan.

Pendekatan yang diterapkan dalam konsep ujian nasional juga perlu mempertimbangkan aspek psikis peserta didik dan orang tua agar terbebas dari perasaan stres atau cemas karena ingin mencapai standar tertentu.

Meski begitu, tegas Unifah, mata pelajaran apa saja yang akan diujikan tetap dikembalikan pada pertimbangan para ahli melalui kajian terlebih dahulu. Menurut dia, saat ini yang terpenting yaitu adanya kemauan secara politik untuk kembali memberlakukan ujian nasional.

Sebelumnya pada tahun 2021, UN dinyatakan dihapus dan digantikan oleh Asesmen Nasional (AN). Asesmen ini tidak dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa, melainkan untuk mengukur kualitas pendidikan melalui asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar.

Unifah menilai, pemberlakuan sistem Asesmen Nasional di era kepemimpinan Nadiem Makarim tersebut kurang efektif bagi peningkatan kualitas siswa. Ia menyoroti adanya fenomena siswa yang tetap bisa naik kelas walaupun belum mampu baca-tulis dengan baik.

“Apakah UN-nya sama persis seperti yang kemarin, tidak juga. Biar ahli evaluasi itu untuk merumuskan. Kalau yang sekarang ada rasa ketakutan, stres anak-anak, mungkin ini pendekatannya bukan membuat anak-anak itu stres. Tapi anak-anak harus mencapai bahwa ini bukan untuk kenaikan kelulusan. Tapi untuk ukuran, misalnya, bahwa dia sudah mencapai standar atau belum dan bagaimana kemudian untuk pendidikan lebih lanjut,” kata Unifah.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti mengatakan kepemimpinannya akan mengkaji ulang terkait penerapan kebijakan Kurikulum Merdeka Belajar, Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan jalur zonasi hingga peniadaan Ujian Nasional (UN). Menurut Mu’ti, saat ini pihaknya tengah menyerap aspirasi dari berbagai pihak terkait hal tersebut.

Sementara itu, Komisi X DPR RI menyampaikan berada dalam posisi terbuka atau memberikan kesempatan untuk membahas lebih lanjut mengenai rencana pemerintahan saat ini untuk kembali menerapkan UN.

Menurut Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, rencana tersebut memang perlu dikaji lebih lanjut agar tidak menjadi hal yang justru ditakuti oleh para siswa, baik di tingkat sekolah dasar, menengah pertama, maupun sekolah menengah atas.

Baca juga: BRIN nilai pelaksanaan Ujian Nasional harus dibarengi perbaikan sistem
Baca juga: BRIN sambut baik wacana Ujian Nasional untuk diadakan kembali
Baca juga: Komisi X DPR sebut terbuka soal rencana UN diadakan kembali

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024