Jakarta (ANTARA News) - Bicara-bicara soal tanda-tanda jaman, perhatian terseret kepada ungkapan klasik Prancis "Histoire se repete" (sejarah itu berulang), atau segala hal yang logis atau masuk akal tanpa mengada-ada, senantiasa mempunyai irama.
Segala hal yang menyesatkan pikiran atau menjerumuskan akan sehat senantiasa memunculkan kekacauan (chaos). Yang logis berkawan dengan yang menang.
Yang logis menghidupi dan menyemangati Jerman ketika keluar sebagai juara dunia dengan meraih trofi Piala Dunia 2014 dengan mengalahkan Argentina 1-0 dalam laga final yang digelar di Stadion Maracana pada Minggu (13/7) atau Senin dini hari WIB.
Bermodal segala hal yang logis itulah, skuad Der Panzer meraih gelar sebagai juara dunia sepak bola untuk kali keempat (1954, 1974, 1990, 2014). Kemenangan ini mengukuhkan dominasi Jerman atas "Tim Tango" dalam turnamen empat tahunan ini, dengan menorehkan empat kali menang, dua kali imbang dan sekali kalah.
Jerman di bawah asuhan pelatih Joachim Loew memainkan segala gal yang serba logis dalam pakem sepak bola modern.
Sepak bola itu laga yang mendemonstrasikan aksi kolektif, bukan aksi perorangan, apalagi "mau menang sendiri dengan menyesaki kocek pribadi". Sepak bola itu laga yang mendorong dan memacu personelnya untuk keluar menyerang, meski tidak melupakan lini pertahanan.
Sepak bola itu menyajikan umpan-umpan atraktif bukan justru mencari kemenangan dengan melakoni jalan pintas. Sepak bola itu laga yang memicu seluruh punggawa untuk berpikir, berfantasi, dan berkreativitas, baik dalam melakukan dribel, melepaskan umpan, dan mengkonversi umpan menjadi gol ke gawang lawan.
Sepak bola layaknya perjalanan sejarah, selalu tahap demi tahap. Silakan perhatikan, ketika skema menyerang Jerman justru dimulai dari operan bola yang berantai, dari lini belakang masuk menusuk ke jantung pertahanan Argentina dengan mengandalkan operan-operan bola pendek. Pergerakan pemain terus dinamis mengikuti bandul jam sejarah yang tidak mengenal kata berhenti.
Yang logis terbukti, ketika Andre Schurrle melepaskan umpan silang di tengah hadangan bek-bek Argentina, yang disebut-sebut sedang memainkan skema bertahan ala "memarkir bus".
Lantaran terfokus kepada pergerakan dengan bola dari Schurrle itulah, justru tidak ada bek tim Tango yang memantau kemudian mengawal pergerakan Mario Goetze.
Yang logis, bila pemain Bayern Muenchen itu kemudian menyongsong bola yang diumpan oleh Schurrle dengan lebih dulu menahan bola dengan dada.
Dalam hitungan detik, bola ditendang dengan kaki kiri Goetze, kemudian luput dari hadangan penjaga gawang Argentina Sergio Romero. Gol!
Yang logis pula, bila diajukan pertanyaan, mengapa Jerman mampu mengalahkan Argentina? "Die Mannschaft" mendefinisikan berpikir logis sebagai skema berpikir yang sabar, selaras, harmonis dan bertahap layaknya orang berbaris.
Alasan pertama, Jerman relatif lebih bugar dibandingkan dengan skuad Argentina. Kedua tim sama-sama menunjukkan stamina yang kuat ketika melakoni laga yang menyedot stamina karena bertanding di bawah iklim Brasil yang panas dan lembab. Jerman punya satu hari waktu beristirahat dibandingkan dengan Argentina.
Turun naiknya stamina dapat terlihat dari penampilan kedua tim. Sementara stamina pasukan Tango menurun, pasukan Jerman justru menunjukkan kepercayaan diri dan kekuatan penuh.
Mueller dan kawan-kawan tampil lebih tajam dan justru gol yang dilesakkan Goetze berangkat dari kecepatan dirinya mengantisipasi umpan yang dilepaskan oleh Schurrle.
Alasan kedua, aspek penguasaan bola. Ada momen pencobaan dari sebuah tim ketika lini pertahanan digempur habis-habisan lawan. Dari situasi serba kritis itulah, tercermin kokoh tidaknya kerjasama tim.
Tinggal sekarang, apakah sebuah tim secara logis mampu bertahan kemudian berencana memainkan durasi pertandingan.
Jerman mampu memainkan bola dengan penuh kesabaran. Sementara, Argentina terkesan kurang mampu mengontrol kecepatan dan selalu tergopoh-gopoh dalam melancarkan serangan balik.
Memainkan skema serangan balik, secara logis, memerlukan dukungan stamina yang mumpuni. Skuad Jerman justru tidak terpancing untuk lekas-lekas menggelontorkan serangan ke kubu lawan.
Yang logis, justru mereka secara seksama penuh hitung-hitungan mencari untuk menemukan ruang gerak agar dapat menciptakan gol.
Kedua hal itu, logisnya, menuntut satu hal yang krusial, yakni kerjasama tim. Ketika jalinan kerjasama tim mudah dikatakan meski sulit diwujudkan, justru skuad Jerman mampu menyederhanakannya dalam skema permainan yang atraktif, sekelas Jogo Bonito.
Yang logis dari penampilan Jerman, di Piala Dunia 2014 ini, bahwa setiap pemain memintal kerjasama dalam kebersamaan yang harmonis.
Tidak ada pemain yang ingin mengail keuntungan lebih, tidak ada pemain yang mau memanfaatkan kelebihan orang lain demi keuntungan pribadi, dan tidak ada pemain yang suka bermain intrik di kamar ganti.
Kata kunci dari segala hal yang logis dari penampilan skuad asuhan Joachim Loew, yakni kebersamaan dalam harmoni.
Spanyol, Italia, Brasil, dan Prancis dipenuhi oleh sejumlah pemain hebat, tetapi mereka cenderung bermain hanya "untuk tim", bukan "bersama-sama dengan tim". Para pemain hebat itu tampil menonjol-nonjolkan egonya, melupakan kebersamaan sebagai pakem dasar sepak bola.
Yang logis berkawan dengan mereka yang menang. Yang logis berkumpul dengan yang logis. Layaknya, angsa putih berkumpul dengan angsa putih. Bila ada angsa hitam, maka angsa putih secara berseloroh akan berkata, "silakan kembali ke habitat anda."
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014