Jakarta (ANTARA/JACX) – Hasil pemantauan yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Monash Data & Democracy Research Hub (MDDRH) menunjukkan bahwa ujaran kebencian yang ditujukan pada kelompok minoritas mulai bermunculan di berbagai platform media sosial seperti TikTok dan X. 

Pemantauan yang dilakukan sepanjang Agustus hingga September 2024 di lima provinsi, menunjukkan  ujaran kebencian tentang Pilkada terbanyak tentang Pilkada Jawa Barat (204), diikuti Maluku Utara (159), Aceh (98), Nusa Tenggara Barat (80), dan Sumatera Barat (14).

AJI dan MDDRH berhasil mengumpulkan sebanyak 4,712 video TikTok dan 32,168 komentar TikTok. Dari jumlah tersebut, sejauh ini diambil sampel sebanyak 2,512 data, dimana sebanyak 456 data atau 18,5 persen mengandung ujaran kebencian.

“Di Aceh, sudah ada tuduhan bahwa kandidat tertentu yang menyamakan Rohingnya serupa dengan kotoran manusia,” ujar Co-director MDDRH, Ika Idris, dalam keterangannya di Jakarta, Senin. 

Baca juga: Facebook, Rohingya, dan perang melawan ujaran kebencian

Ika menjelaskan target ujaran kebencian berbeda-beda di setiap provinsi. Seperti misalnya di Aceh, ujaran kebencian di kolom komentar sudah bermunculan pada video-video kandidat terkait pengungsi Rohingya.

Sementara di Jawa Barat, sentimen keagamaan masih dikaitkan dengan narasi di Pilpres, terutama kepada para pendukung Anies Baswedan yang juga disebut dengan “Anak Abah”. Apalagi karena PKS, sebagai partai yang mendominasi di Jawa Barat menarik dukungan terhadap Anies dan merapat ke Koalisi Indonesia Maju Plus.

Sedangkan Maluku Utara sasaran ujaran kebencian adalah investasi asing asal China yang memang menjadi negara tujuan ekspor terbesar nikel. Ujaran kebencian juga berkaitan dengan agama, seperti yang muncul di beberapa provinsi seperti Jawa Barat, Maluku Utara, dan Aceh.

Sementara di Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat, AJI dan MDDRH menemukan komentar yang menyudutkan perempuan yang tidak pantas menjadi pemimpin. Selain menyerang gender, ada juga yang menyerang proses pencalonan bupati dan wakil bupatinya yang merupakan hasil dari politik dinasti.

“Di beberapa video terkait Pilkada NTB, kami menemukan komentar-komentar yang menyudutkan perempuan yang tidak pantas menjadi pemimpin,” tambah Ika.

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menjelaskan perlunya langkah moderasi konten dari platform digital yang dapat mencegah penyebaran konten ujaran kebencian. Hal itu dikarenakan tingginya angka ujaran kebencian yang muncul saat Pilkada dan tidak bisa mengandalkan literasi digital saja. 

Baca juga: Bawaslu gandeng berbagai pihak awasi ujaran kebencian di medsos

Pewarta: Tim JACX
Editor: Indriani
Copyright © ANTARA 2024