Jembrana, Bali (ANTARA) -

Sekelompok pelajar dari sejumlah SMA di Jembrana, Bali, mengelilingi meja panjang di warung kopi Komunitas Kertas Budaya di Negara. Beberapa laptop, printer, dan kertas yang berserakan di situ menjadi gambaran kesibukan mereka sebagai panitia Festival Nasional Seni Pelajar Jembrana (FNSPJ) yang berakhir pekan lalu.

Tahun ini, FSNPJ yang digelar pada tanggal 18 sampai 31 Oktober 2024, memasuki episode ke-8, yang artinya eksistensi kegiatan seni tersebut sudah mencapai 8 tahun. Sejak terselenggara pada tahun 2017, setiap Oktober, kegiatan ini tidak pernah absen. Wabah COVID-19 yang memicu larangan warga untuk berkumpul, pun disiasati penggerak FNSPJ dengan melaksanakan kegiatan seni secara daring.

Dari masa ke masa, kegiatan sastra atau dalam konteks yang lebih luas, geliat kesenian modern di Kabupaten Jembrana memang tidak pernah lepas dari peran pelajar.

Dari penuturan Wayan Udiana, populer disapa Nanoq da Kansas, keterlibatan pelajar dalam kegiatan-kegiatan seni modern di Jembrana sudah berlangsung sejak tahun 1980-an lewat Sanggar Kirana yang digagas dan dipimpin Anak Agung Anom Gorda.

Penerima penghargaan Bali Jani Nugraha tahun 2023 dari Pemerintah Provinsi Bali ini, yang juga guru salah satu SMP di Negara mengajak pelajar untuk berkumpul, berkegiatan, dan berlatih teater serta sastra di sanggar tersebut.

Sebagai motivasi dan mengasah jiwa seni pelajar binaannya, Anom Gorda berupaya mereka kontinyu mementaskan teater maupun puisi di sekolah-sekolah, ruang umum, hingga radio. Nanoq yang menjadi bagian dari Sanggar Kirana mengatakan, kala itu setiap minggu Radio Dirgantara di Negara memberikan ruang pembacaan puisi dengan durasi 2 jam kepada mereka.

Ia, yang saat itu masih remaja, mengingat, Sanggar Kirana kerap mementaskan drama dari puisi-puisi WS Rendra maupun naskah karya Anom Gorda. Pementasan keliling di seluruh kecamatan di Kabupaten Jembrana juga menjadi agenda rutin.

Masa berjalan, generasi pun berganti. Saat aktivitas Sanggar Kirana surut sekitar 1985, Nanoq dan sejumlah remaja yang sebelumnya bergabung di sanggar tersebut, mendirikan Teater Kene. Pada saat yang bersamaan DS Putra, penggiat seni lainnya, juga mendirikan Komunitas Pecinta Sastra Jembrana (KPSJ).

Sama dengan Sanggar Kirana, anggota Teater Kene maupun KPSJ didominasi kalangan pelajar yang berinteraksi dalam pergaulan kreatif menulis dan baca puisi, berteater, bermusik, hingga melukis.

Dua kutub kesenian modern di Jembrana itu lantas disatukan Umbu Landu Paranggi melalui Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat Purnamaning Kapat (Rajer Babat Pukat), yang berlangsung setiap bulan Oktober selama sepuluh kali hingga terakhir dilaksanakan tahun 1999.

Rajer Babat Pukat yang menandai bersatunya sejumlah komunitas seni di Jembrana juga membuka ruang dan mengajak pelajar terlibat di dalamnya.

Meskipun tidak atas nama sekolah, selalu ada individu pelajar yang mengikuti kegiatan tersebut.

Kesepakatan pegiat seni di Jembrana termasuk Nanoq untuk menghentikan Rajer Babat Pukat hingga yang ke-10 saja, tidak lantas membuat ajang seni tahunan di Kabupaten Jembrana vakum.Pelaku utama
Melalui Komunitas Kertas Budaya, seniman di Jembrana melahirkan Pekan Apresiasi Sastra (PAS) yang kemudian berubah menjadi Pekan Apresiasi Sastra dan Teater PAST. Dan, lagi-lagi pelajar menjadi salah satu pelaku utama dalam kegiatan tersebut.

Memasuki tahun 2007 hingga 2016, episentrum kegiatan seni modern di Jembrana bergeser dari Kota Negara ke sebuah dusun kecil di Desa Candikusuma, Kecamatan Negara. Festival Dusun Senja di Dusun Moding yang merupakan kampung halaman Nanoq menjadi penyambung, jika kegiatan seni modern di Jembrana selalu ada setiap tahunnya.

Meskipun cukup jauh dari Kota Negara, bahkan harus memasuki jalan pedesaan yang berliku, Festival Dusun Senja tetap menarik minat pelajar untuk aktif sebagai panitia. Dan tentu saja kalangan seniman dan pecinta seni, termasuk dari luar daerah, hadir dalam acara tersebut.

Melihat keterlibatan pelajar yang seolah-olah sudah menjadi tradisi dalam setiap kegiatan seni modern, Nanoq optimistis regenerasi kesusastraan termasuk teater akan terjaga di Kabupaten Jembrana. Optimisme itu mengingat pelajar-pelajar yang dahulu aktif dalam kesenian modern di Jembrana, kini berdiaspora ke berbagai daerah dengan tetap mempertahankan eksistensinya sebagai seniman sastra dan teater.

Di sejumlah daerah seperti Yogyakarta, Denpasar, dan Buleleng, jebolan Rajer Babat Pukat, PAS, PAST, maupun FNSPJ cukup mewarnai pergaulan kreatif berkesenian. "Ada yang sudah pentas keluar negeri. Saya yakin, di mana pun mereka berada, keterikatan proses kreatif tidak akan lepas dari Jembrana," katanya.

Melihat fakta masa lalu maupun kekinian, kesenian modern selalu menarik minat pelajar di Jembrana untuk bergabung. Apakah kemudian kesenian menjadi tujuan atau jalan hidupnya kelak, para pelajar itu tidak berpikir sejauh itu.

"Bisa jadi kelak hanya satu atau dua orang dari kami yang menjadikan kesenian sebagai jalan hidup. Akan tetapi, meskipun tidak menjadi seniman, kesenian akan selalu mengisi hidup kami dalam bentuk yang lain," kata Ni Made Adita Wahyu Putri, pelajar SMA yang menjadi Ketua FNSPJ VIII.

Untuk mencintai seni tidak harus menjadi seniman. Itulah yang tersirat dari kegigihan Adita maupun pelajar-pelajar lainnya dalam bekerja untuk kesinambungan kegiatan seni modern di Kabupaten Jembrana.

Tanggung jawab terhadap cinta itu yang membuat mereka berkumpul, berdiskusi, dan bergerak hingga larut malam selama 2 bulan lebih untuk kepentingan FNSPJ.

Bisa jadi remaja-remaja itu tidak menulis atau membaca puisi, bermain teater, melukis, atau melahirkan karya-karya kesenian lainnya, tapi militansi, loyalitas, dan dedikasi mereka untuk FNSPJ juga merupakan karya nyata.

Karya yang akan membuat regenerasi kesenian modern di Kabupaten Jembrana selalu hidup, bahkan abadi. Karya yang akan selalu diingat oleh mereka sendiri maupun generasi selanjutnya.

Editor: Achmad Zaenal M

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024