Rio de Janeiro (ANTARA News) - "Anda mau ke Favela di Rio? Saya sarankan jangan, di sana berbahaya sekali," kata Laura, seorang wartawati media online Brasil di Sao Paulo beberapa waktu lalu.
Tanpa bermaksud menakut-nakuti, wartawati yang berdomisi di Sao Paulo itu menyarankan kalau memang bermaksud ke Favela, sebaiknya didampingi warga lokal yang sudah dikenal warga setempat.
"Di sana banyak zombie, mereka suka menganggu pendatang yang masuk ke wilayah mereka," kata Laura untuk menggambarkan pecandu narkoba dengan istilah zombie.
Sementara itu Fabio, seorang warga Sao Paulo lainnya juga mengingatkan akan bahaya jika tetap nekad masuk ke Favela, terutama seorang diri.
"Anda mungkin bisa saja masuk ke daerah Favela, tapi nanti keluarnya anda sudah tidak bawa apa-apa karena semua barang habis dijarah," kata Fabio.
"Kalau memang mau ke sana, sebaiknya jangan bergaya seperti turis, apalagi menenteng kamera. Lebih baik bergaya seperti gembel, pakai celena pendek kusam dan sandal jepit, mereka pasti berpikir tidak ada gunanya merampok orang seperti itu," katanya sambil tertawa.
Favela, atau perkampungan kumuh di Brasil, terutama Rio, memang sudah melekat dengan citra buruk sebagai kawasan sarang kriminal, tempat beroperasinya geng-geng pengedar narkotika.
Polisi pun diceritakan tidak berkutik karena senjata kelompok geng narkotika lebih canggih. Pernah kejadian, seorang polisi yang terjebak di sebuah gang buntu, menjadi sasaran empuk peluru.
Kehidupan yang keras dan seram di gang-gang sempit Favela, telah menginspirasi produser film Hollywood untuk mengambil lokasi gambar di sana, di antaranya "Fast And Furious V" yang dibintangi Vin Diesel dan almarhum Paul Walker.
Dalam film "City of Good", juga digambarkan secara gamblang kekerasan yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat setempat. Anak kecil pun dengan tenang menenteng pistol dan bisa menggunakannya kapan saja mereka suka tanpa ada rasa penyesalan.
Masih Berduka
Tapi pemandangan yang kontras dengan cerita seram di atas terlihat di kawasan Rochina (baca Hocinya), kawasan kumuh terbesar di Rio de Janeiro dan juga Brasil.
Dalam tiga hari terakhir, kota Rio de Janeiro diguyur hujan dari pagi sampai sore, seolah mengiringi suasana duka sepak bola Brasil.
Warga Brasil masih diliputi duka yang dalam setelah tim sepak bola kebanggaan mereka hancur lebur dilindas Panser Jerman 1-7 pada semifinal Piala Dunia 2014 di Belo Horizonte pada 8 Juni lalu.
Ditambahi lagi kekalahan Cellesao dalam perebutan tempat ketiga, Sabtu (Minggi dinihari WIB), dengan kebobolan 3 gol tanpa balas melawan Belanda.
Meski pesta sepak bola masih menyisakan partai final pada 13 Juli di Rio, warga tampaknya sudah tidak terlalu antusias lagi, tak terkecuali di Rocinha.
Sepanjang hari, kawasan yang dihuni sekitar 150.000 jiwa dan berlokasi tidak jauh dari pantai Copacabana itu, tidak luput dari suasana berkabung.
Anak-anak yang tadinya dengan riang berlari di gang-gang sempit sambil meneriakkan nama Neymar, sudah tidak terdengar lagi.
Mereka tampaknya lebih suka mengurung diri di rumah, sambil mendengarkan berita Piala Dunia melalui layar televisi. Deretan bendera Brasil berwarna kuning hijau terbuat dari plastik yang menghiasi sudut perkampungan, terlihat lunglai disiram air hujan.
Menjelang Piala Dunia 2014, pemerintah Brasil berusaha menjaga keamanan sekitar 600.000 tamu dengan menempatkan puluhan ribu polisi tentara di setiap sudut kota, termasuk kawasan kumuh.
Bahkan salah satu kawasan Favela yang telah "dibersihkan", disulap menjadi objek wisata yang cukup digemari karena menyediakan penginapan murah.
Pelancong yang berkantong tipis ternyata menggemari penginapan di Favela karena tidak hanya murah dan memiliki sensasi tersendiri, tapi juga pemandangan yang indah menghadapi ke pantai Copacabana.
Berbeda dengan perkampungan kumuh di Jakarta yang dibangun di pinggiran sungai, di Rio de Janeiro, perkampungan kumuh dibangun di ketinggian lereng-lereng bukit sehingga menghadirkan pemandangan yang cukup eksotis.
Pewarta: Atman Ahdiat dari Rio de Janeiro
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2014