Jakarta (ANTARA) - Perubahan iklim menjadi isu global yang mendesak diatasi sehingga memicu berbagai negara untuk mengambil tindakan nyata guna mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu pendekatan yang diadopsi adalah sistem perdagangan karbon, di mana carbon credit (kredit karbon) menjadi instrumen utama.
Di Indonesia, sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Pemerintah menargetkan pengurangan emisi GRK sebesar 29 persen pada tahun 2030. Inisiatif ini membuka peluang besar bagi profesi keuangan untuk berperan aktif dalam pengelolaan dan perdagangan kredit karbon.
Kredit karbon adalah unit yang mewakili hak untuk mengeluarkan satu ton emisi karbon dioksida (CO₂) atau gas rumah kaca lainnya. Dalam sistem perdagangan karbon, perusahaan yang berhasil mengurangi emisi di bawah batas yang ditetapkan dapat menjual “kredit” yang tidak terpakai, memberikan insentif finansial untuk pengurangan emisi dan investasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Dari sisi pembangunan ekonomi, kredit karbon memiliki beberapa perspektif di antaranya penciptaan pasar baru, pendanaan proyek berkelanjutan, serta pengurangan risiko lingkungan.
Kredit karbon menciptakan pasar baru yang mendukung inovasi dalam teknologi bersih dan pengembangan energi terbarukan. Hal ini tidak hanya membantu mengurangi emisi tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor hijau.
Melalui penjualan kredit karbon, proyek-proyek yang bertujuan untuk mengurangi emisi, seperti reboisasi atau pengembangan energi terbarukan, dapat memperoleh dana yang diperlukan untuk operasional dan pengembangan lebih lanjut.
Di samping itu, dengan memberikan insentif untuk mengurangi emisi, kredit karbon membantu memitigasi dampak negatif perubahan iklim, yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kerugian ekonomi besar bagi masyarakat dan sektor-sektor yang bergantung pada sumber daya alam.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, perspektif kredit karbon adalah integrasi dengan kebijakan ekonomi, pengembangan inovasi dan teknologi, serta tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Kredit karbon sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), terutama yang berkaitan dengan tindakan terhadap perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Ini mengintegrasikan pertimbangan lingkungan dalam perencanaan ekonomi.
Adopsi kredit karbon juga mendorong penelitian dan pengembangan dalam teknologi ramah lingkungan. Hal ini dapat meningkatkan daya saing ekonomi, membuka peluang baru dalam industri dan sektor yang berfokus pada keberlanjutan.
Sementara itu, terkait tanggung jawab sosial perusahaan, banyak korporasi yang kini melihat kredit karbon sebagai bagian dari strategi CSR mereka, yang tidak hanya meningkatkan citra mereka di mata publik, tetapi juga membantu menarik investasi yang lebih bertanggung jawab secara sosial.
Optimalisasi kredit karbon di Indonesia
Inovasi keuangan dari kredit karbon membuka peluang variasi dari berbagai profesi keuangan untuk dapat mengembangkan produk dan layanan baru, seperti green bonds, yang berfokus pada pembiayaan proyek-proyek berkelanjutan.
Selain itu, optimalisasi kredit karbon akan memunculkan diversifikasi portofolio, khususnya investasi kredit karbon sebagai salah satu cara efektif untuk memperluas diversifikasi portofolio dan mengurangi risiko.
Untuk itu strategi berbasis kredit karbon harus selalu dikembangkan oleh perusahaan sebagai pelaku pasar, yang dapat diintegrasikan dalam berbagai program tanggung jawab sosial perusahaan, sehingga selain memperoleh profit juga dapat meningkatkan reputasi perusahaan di mata publik dan pemangku kepentingan.
Regulasi yang berubah-ubah adalah tantangan besar dalam optimalisasi kredit karbon di Indonesia. Hal ini karena sistem perdagangan karbon sering kali dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah yang dapat berubah sehingga menciptakan ketidakpastian bagi investor.
Selanjutnya dalam konteks penentuan harga dengan adanya penetapan harga dalam pasar karbon yang tidak konsisten dapat membuat perhitungan biaya dan manfaat menjadi sulit bagi perusahaan yang berkecimpung di dalamnya. Hal ini pada dasarnya karena keterbatasan pengetahuan mengetahui kredit karbon itu sendiri karena banyak pelaku pasar yang masih kurang memahami mekanisme dan manfaat dari kredit karbon sehingga menghambat partisipasi aktif.
Menurut Dr. Emily L. M. Foster, ahli lingkungan dari Universitas Harvard, sistem perdagangan karbon tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi, tetapi juga untuk menciptakan pasar baru yang dapat memberikan manfaat ekonomi jangka panjang.
Sementara itu, Profesor John R. Anderson dari Universitas Stanford menekankan bahwa peran profesi keuangan dalam mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon adalah kunci dan mereka harus mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan regulasi dan teknologi.
Dalam konteks teori ekonomi lingkungan, optimalisasi kredit karbon sebagai fondasi dan memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana pasar dapat berfungsi dalam konteks pengelolaan sumber daya alam.
Terkait akibat yang ditimbulkan, dampak dari aktivitas ekonomi terhadap lingkungan sangat relevan. Kredit karbon berfungsi sebagai mekanisme untuk internalisasi eksternalitas negatif dari emisi karbon sehingga mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi bersih.
Penelitian yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 2021 menunjukkan bahwa pasar karbon di Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh sebesar 30 persen dalam 5 tahun ke depan. Selain itu, studi oleh McKinsey & Company menemukan bahwa perusahaan yang berinvestasi dalam kredit karbon dapat melihat pengembalian investasi hingga 15 persen dalam jangka panjang. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada potensi besar bagi perusahaan dan profesi keuangan untuk memanfaatkan kredit karbon sebagai alat strategis dalam mencapai tujuan keberlanjutan.
Kredit karbon adalah peluang yang signifikan bagi profesi keuangan untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim sekaligus memperoleh keuntungan ekonomi. Meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, inovasi dan pengetahuan yang tepat dapat membantu profesional keuangan untuk memanfaatkan potensi pasar karbon secara optimal.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya keberlanjutan, profesi keuangan dapat mengambil peran proaktif dalam memfasilitasi transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Dengan dukungan regulasi yang tepat dan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme kredit karbon, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin dalam perdagangan karbon di kawasan ini, selaras dengan rencana pembangunan nasional yang berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca.
*) Dr. M. Lucky Akbar, S.Sos, M.Si, Kepala Kantor Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan Jambi
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024