Surabaya (ANTARA News)> - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Prof DR Jimly Asshiddiqie SH, mengingatkan kepada pemerintah dan sivitas akademika untuk hati-hati dalam menyikapi konsep Perguruan Tinggi ber-Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang bersemangat kapitalisme.
"BHMN, privatisasi, deregulasi, debirokratisasi, dan sejenisnya disemangati dengan sistem neoliberalisme klasik yang cenderung kembali kepada kapitalisme yang meminimalisasi peran negara," ujarnya di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu saat menyampaikan ceramah tentang "Sistem Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Menurut UUD 1945" di gedung rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Unair sejak 14 September 2006 berstatus Perguruan Tinggi BHMN.
Menurut dia, BHMN sebagai upaya mengurangi peran negara merupakan langkah efisiensi, namun jika tidak hati-hati dalam menyikapinya, maka justru memposisikan pejabat sebagai pemerintah, padahal pejabat seharusnya berperan sebagai "pengurus."
"Artinya, kita harus hati-hati dan tidak menelan mentah-mentah sistem neoliberalisme klasik atau kapitalisme yang meminimalisir peran negara, sebab hal itu mungkin tidak menjadi masalah di negara maju yang masyarakat dan institusinya sudah siap," paparnya.
Namun, pakar hukum tata negara itu menilai, sistem sosialisme yang memposisikan negara untuk mengurus rakyat dalam segala aspek juga bukan hal yang tepat untuk Indonesia, karena itu pengurangan peran negara dalam mengurus rakyat Indonesia tidak harus bersifat mutlak.
"Negara dapat saja mengurangi peran tertentu, tapi pejabat harus tetap memposisikan diri sebagai pengurus atau pelayan masyarakat, bukan justru berperan sebagai pemerintah atau orang yang memerintah masyarakat," katanya menegaskan.
Di hadapan sekira 200 orang akademisi dan praktisi hukum dalam acara itu, ia menjelaskan, kecenderungan global untuk meminimalisasi peran negara harus disikapi secara hati-hati dengan mengembalikan tugas pejabat sebagai "pengurus" rakyat.
"Itu karena negara kita memang berbeda dengan negara lain, misalnya UUD di negara Amerika, Jerman, Perancis itu semata-mata mengatur masalah politik, sedangkan UUD 1945 mengatur masalah politik, ekonomi, dan sosial," tegasnya.
Bahkan, masalah politik yang diatur dalam UUD 1945 yang telah mengalami empat kali amandemen juga sudah berubah 300 derajat, karena masyarakat sekarang dapat menggugat Undang Undang (UU) yang melanggar hak-nya yang dijamin UUD 1945.
"Amandemen UUD 1945 telah mengubah 71 ayat menjadi 199 ayat, namun dari 199 ayat itu hanya 25 ayat yang tidak mengalami perubahan. Hak warganegara mulai dari a sampai j diatur dalam pasal 28," tandasnya.
Berubahnya hak warganegara yang saat ini, katanya, ada kaitannya dengan eksistensi MK selaku "pengawal" UUD 1945, sehingga masyarakat saat ini dapat menggugat UU MK bila bertentangan dengan UUD 1945, meski pun hanya satu orang.
Guru Besar Luar Biasa di Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu menambahkan, UUD 1945 juga mengatur masalah ekonomi dan sosial di dalam pasal 33 dan 34, karena segala UU atau peraturan dalam masalah ekonomi dan sosial juga harus mengacu kepada UUD 1945.
"Tapi, kita memang harus bersabar, karena perubahan konstitusi itu belum diikuti penataan institusi dan program, sehingga banyak hal yang tumpang-tindih, termasuk ketegangan antara MK dengan lembaga lain seperti MA," demikian Jimly Asshiddiqie. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006