Jakarta (ANTARA) - Kementerian Luar Negeri RI telah menegaskan bahwa langkah Indonesia untuk mendaftarkan diri ke BRICS bukanlah karena ikut-ikutan, tetapi telah dilakukan  berbagai kajian yang komprehensif dan memadai sebelum mengambil keputusan tersebut.

Hal itu ditegaskan dalam taklimat media yang digelar Kemlu di Jakarta pada 31 Oktober lalu.  Juru Bicara Kemlu RI Rolliansyah Soemirat mengemukakan bahwa pemerintah Indonesia telah mempertimbangkan dengan matang keikutsertaan RI dalam berbagai organisasi internasional, termasuk BRICS.

Dalam aspek perekonomian, bergabungnya Indonesia ke BRICS dinilai akan dapat membuka akses pasar yang lebih luas bagi hasil produksi perindustrian nasional. Hal itu memang sangat menggiurkan, mengingat BRICS yang saat ini memiliki sembilan negara anggota mempunyai  karakteristik signifikan tingkat global.

Senada dengan hal itu, publikasi dari situs resmi United States Institutes for Peace (USIP) menyebutkan ada manfaat ekonomi yang sangat jelas bila sebuah negara berkembang bergabung dengan BRICS. Data dari institusi federal AS itu menyatakan bahwa berbagai negara yang tergabung dalam BRICS mewakili sekitar 45 persen populasi dunia, 28 persen output perekonomian dunia, dan 47 persen minyak mentah global.

Seperti diketahui, anggota BRICS, yang telah berdiri sejak 2009 itu terdiri dari Brasil, Rusia, India, China (keempatnya merupakan anggota awal atau orisinal), Afrika Selatan (masuk pada 2011), Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab (keempat terakhir merupakan negara-negara anggota hasil ekspansi BRICS). Arab Saudi sebenarnya telah diundang secara resmi untuk menjadi anggota BRICS, tetapi sampai tulisan ini diterbitkan masih belum ada deklarasi formal terkait hal tersebut.

Selain itu, KTT BRICS terakhir yang digelar pada 22-24 Oktober 2024 telah menetapkan 13 negara mitra yaitu Aljazair, Belarus, Bolivia, Kuba, Indonesia, Kazakhstan, Malaysia, Nigeria, Thailand, Turki, Uganda, Uzbekistan, dan Vietnam. Status RI sebagai "interested country" (negara berminat), merupakan tahap pertama aksesi anggota baru BRICS, sebelum melaju ke sejumlah tahap berikutnya hingga akhirnya dapat menjadi anggota penuh.


Perdagangan intra-BRICS

Salah satu daya tarik lain yang juga terkait dengan akses pasar  luas adalah potensi meningkatnya perdagangan intra-BRICS atau sesama negara anggota BRICS. Terlebih, BRICS juga mendorong untuk penggunaan mata uang lokal ( bukan dolar AS) dalam melakukan perdagangan serta transaksi keuangan di antara negara-negara anggota BRICS.

Hal itu diperkuat dengan data USIP yang menyebut adanya tren peningkatan perdagangan intra-BRICS sebesar 56 persen antara periode 2017-2022. Saat ini, angka tersebut diperkirakan ke depannya bakal semakin melambung terutama dengan didorong banyaknya sanksi Barat terhadap Rusia.

Seperti diketahui, Rusia telah mendapat hantaman embargo atau larangan pembelian terutama adalah komoditas migas dari Rusia. Walhasil, dengan tidak banyak lagi negara-negara Barat yang membeli produksi migas dari Rusia, maka ini juga merupakan sebuah kesempatan bagi RI untuk dapat memperoleh manfaat finansial yang optimal dari transaksi migas dengan Rusia.

Apalagi, Indonesia merupakan negara importir besar untuk BBM hasil sulingan. Tidak hanya komoditas migas, Indonesia juga dinilai dapat memperoleh transaksi finansial yang menguntungkan bagi komoditas lainnya yang diproduksi oleh negara-negara BRICS tetapi dibutuhkan di dalam negeri, seperti gandum.

Apalagi Indonesia adi bergabung di BRICS, dinilai juga dapat memperoleh perjanjian perdagangan yang lebih baik karena didukung dengan posisi tawar yang lebih kokoh dengan manfaat keanggotaannya tersebut. Namun, dari sisi perjanjian perdagangan, Indonesia perlu  berhati-hati dan sangat saksama dalam melakukannya, karena tanpa komoditas unggulan, Indonesia berpotensi hanya menjadi pasar semata.

Berbagai optimalisasi dari aspek finansial atau keuangan itu juga didukung dengan visi dari negara-negara BRICS, utamanya Rusia dan China, yang ingin mempromosikan tatanan dunia multipolar. Dengan adanya tatanan dunia baru yang bersifat multipolar itu, maka ke depannya globalisasi tidak lagi menjadi dominasi dari kekuatan negara-negara Barat (baca: AS dan sekutunya).

Finansial global setara

Bila dominasi dari poros perekonomian Barat tidak lagi dominan dalam lanskap global, maka dinilai ke depannya akan tercipta sistem perdagangan dan finansial global yang lebih setara. Hal tersebut otomatis juga akan mengatasi sejumlah solusi dari segi perekonomian yang kerap dihadapi oleh kelompok negara yang disebut sebagai Global South atau Selatan Global.

Tak mengherankan pula bila kajian lembaga wadah pemikir AS Council on Foreign Relations (CFR) mengungkapkan bahwa BRICS bertujuan menciptakan front persatuan dari perspektif negara-negara berkembang.

Tujuan dari front persatuan itu antara lain adalah mengoordinasikan kebijakan ekonomi di antara sesama mereka, terutama dalam membantu negara-negara berkembang, terutama mengingat sejumlah krisis ekonomi dan pandemi terus menghantui dunia.

Selain itu, manfaat aspek finansial lainnya yang tidak boleh dilupakan, seperti telah disinggung di atas, adalah terkait dengan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat. Ketergantungan itu akan lebih terasa bila Barat menerapkan kebijakan diksi ekonomi.

Untuk itu, memang telah ada sejumlah isu selain penguatan transaksi perdagangan dengan mata uang lokal, yaitu dengan menciptakan mata uang bersama BRICS. Namun, langkah untuk menciptakan mata uang seperti euro di Uni Eropa sepertinya masih sangat jauh karena banyak sekali hal yang harus diperhitungkan.

Masih terkait dengan menghilangkan dominasi Barat, BRICS bermanfaat  dalam menciptakan sistem finansial alternatif. Misalnya saja, BRICS diketahui telah menciptakan institusi keuangan seperti New Development Bank (NDB), yang menurut kajian CFR adalah mirip seperti Bank Dunia.

Pendanaan alternatif

Dengan adanya NDB, maka hal itu bakal melambungkan harapan berbagai negara-negara anggota BRICS untuk mendapatkan tempat pendanaan alternatif yang juga otomatis akan meningkatkan kooperasi antara negara berkembang sehingga tidak lagi bergantung kepada beragam lembaga finansial multilateral tradisional.

NDB, yang memiliki kantor pusat di Shanghai China, menawarkan berbagai pinjaman, jaminan, dan sejumlah mekanisme finansial lainnya guna mendukung proyek-proyek swasta yang berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan dan pembangunan infrastruktur.

Masih menurut kajian CFR, hal ini dimaksudkan untuk menawarkan lebih banyak fleksibilitas, kesetaraan yang lebih besar di antara para pemegang saham, dan akses yang lebih mudah terhadap dana dibandingkan Bank Dunia.

Selain itu, disebutkan pula bahwa NDB telah menyetujui lebih dari 32 miliar dolar AS (sekitar Rp503,7 triliun) untuk sebanyak 96 proyek sejak operasi lembaga finansial tersebut dimulai pada 2016.

Dengan berbagai manfaat aspek finansial itu, tidak mengherankan bila Indonesia berketetapan untuk bergabung dengan blok ekonomi tersebut. Namun, yang perlu diingat adalah jangan mencampurkan kepentingan ekonomi dengan langkah praktis geopolitik global, apalagi yang terkait dengan konflik antarnegara.

Bila pencampuran yang mengarah kepada meningkatnya eskalasi konflik terjadi, maka akan terjadi hal seperti beban ekonomi yang dialami oleh sejumlah negara-negara Barat saat ini, akibat dari penerapan sanksi yang dimotori AS terhadap Rusia.

Indonesia, tentu saja memiliki solusi yang telah didasari dalam pembukaan konstitusi, yaitu agar teguh berpegang kepada penerapan prinsip dan tujuan politik bebas aktif, seperti yang telah diterapkan di masa terdahulu, misalnya dalam pendirian negara-negara Gerakan Non Blok.

Dengan menjaga kemurnian terhadap penerapan konsep tersebut, maka diharapkan akan dapat membuka banyak manfaat finansial bagi RI bila bergabung dengan BRICS.

Copyright © ANTARA 2024