Di sisi lainnya, kebutuhan kandidat atas sokongan atau endorse elite politik ternama ini tentunya juga bukan tanpa dasar dan strategi yang matang.
Jika merujuk hasil jajak pendapat yang dilakukan sejumlah lembaga survei seputar kepuasan terhadap kinerja Jokowi, terlihat jelas bahwa ternyata sebagian besar masyarakat negeri ini masih memberikan apresiasi positif mereka kepada sang mantan Presiden ini.
Mengutip hasil polling yang dirilis lembaga survei LSI Denny JA pada medio Oktober silam, tingkat kepuasan terhadap Jokowi ada di angka 80,8 persen. Survei tatap muka menggunakan kuesioner itu dilakukan secara nasional pada 26 September--3 Oktober 2024 terhadap 1.200 responden dengan margin of error plus minus 2,9 persen serta dilengkapi pula riset kualitatif.
Lembaga survei lainnya juga menyajikan hasil serupa, yakni Indikator Politik yang melakukan jajak pendapat seputar kepuasan terhadap kinerja Jokowi menjelang masa jabatannya berakhir, diperoleh angka terkini 75 persen.
Menurut Direktur Eksekutif lembaga tersebut, Burhanuddin Muhtadi, survei yang dilakukan dengan metode multistage random sampling dan margin of error sekitar 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen itu dilakukan pada periode 22-29 September 2024 dengan jumlah responden 1.200 warga Indonesia dari 11 provinsi terbesar, yakni Sumut, Riau, Sumsel, Lampung, Banten, Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim dan Sulsel.
Catatan serupa juga tercermin dari survei terbaru Poltracking Indonesia yang mencoba mengukur peta elektabilitas pasangan cagub-cawagub di Pilgub Jatim berdasarkan approval rating Jokowi.
Meski Jokowi dan keluarganya diterpa berbagai isu negatif tentang politik, temuan survei Poltracking merekam tingkat kepuasan atau approval rating Jokowi masih tetap tinggi, yakni di kisaran 87,5 persen dengan peta pemilih yang puas dan tidak puas atas kinerja Jokowi itu tersebar merata di ketiga paslon yang bertarung pada Pilgub Jatim.
Para politikus pastinya memahami bahwa sebagian besar pemilih pada kontestasi pemilu di Indonesia adalah pemilih emosional yang menentukan pilihan calon pemimpinnya berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan semata.
Jumlah pemilih rasional, menurut peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Wasisto Raharjo Jati yang melakukan penelitian dalam Pemilu 2014--2019, diperkirakan hanya berkisar 5--10 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Pada saat yang sama, sebagian masyarakat Indonesia masih sulit mencerna gagasan-gagasan besar yang disampaikan para kandidat, apalagi jika ide itu mereka sampaikan dengan bahasa-bahasa "langit" nan rumit.
Besarnya faktor nonrasional yang digunakan pemilih itulah yang coba digarap pasangan calon kepala daerah dengan mencoba memanfaatkan sokongan Jokowi yang secara statistik masih menjanjikan.
Memang tidak ada yang salah memilih kandidat karena alasan emosional dan personal. Jadi, biarlah waktu membuktikan benar atau tidaknya teori tuah Jokowi ini setelah pencoblosan Pilkada Serentak 2024 pada 27 November nanti.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024