"Seiring dengan pelonggaran pembatasan perjalanan, kami telah melihat lonjakan minat luar biasa dari rumah-rumah produksi China yang ingin membuat film di Indonesia. Selama periode 2022-2023, KBRI Beijing menerima tiga permintaan dari rumah produksi Tiongkok untuk menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting terutama ke Bali dan Gunung Bromo," kata Koordinator Fungsi Penerangan Sosial Budaya KBRI Beijing Dewi Avilia di Beijing pada Jumat.
Dewi menyampaikan hal tersebut saat membuka simposium dalam rangkaian "Indonesia Movie Weekend Festival" yang berlangsung pada 1-2 November 2024 dengan memutarkan empat film Indonesia yaitu Kadet 1947, Glenn Fredly The Movie, Gampang Cuan dan Tulang Belulang Tulang.
"Setidaknya ada tiga alasan kenapa menjadikan Indonesia sebagai lokasi syuting. Pertama adalah karena Indonesia punya warisan budaya yang kaya seperti berbagai candi kuno, desa tradisional maupun festival yang meriah sehingga menawarkan banyak subjek menarik untuk dijelajahi oleh para pembuat film," ungkap Dewi.
Kedua, Indonesia juga punya sumber daya manusia yang punya bakat serta terampil karena industri film di Indonesia telah berkembang pesat termasuk dengan kelengkapan fasilitas produksi canggih dan kru lokal cekatan siap menjadi mitra rumah produksi luar negeri.
"Ketiga, pembuatan film di Indonesia hemat biaya sehingga memungkinkan para sineas untuk memaksimalkan sumber daya tanpa mengorbankan kualitas," tambah Dewi.
Dewi menyebut pada 2022, uang yang beredar dalam industri film di Indonesia mencapai 8,2 miliar dolar AS atau menyumbang 5,1 miliar dolar AS terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan menciptakan hampir 387.000 lapangan kerja.
Industri film Indonesia bahkan diprediksi akan terus tumbuh 6,13 persen per tahun hingga 2027.
"Pemerintah Indonesia terus mendukung pengembangan industri film karena pada periode 2024, industri film Indonesia diprediksi akan menarik hingga 60 juta penonton setelah mencatat pertumbuhan positif pada 2023," ungkap Dewi.
Sejumlah film Hollywood juga diketahui mengambil lokasi syuting Indonesia misalnya film "Eat Pray Love" yang rilis pada 2010 dan dibintangi oleh Julia Roberts melakukan syuting di Pantai Ubud dan Pantai Padang Padang, Bali. Film itu berhasil meraup pendapatan kotor sebesar 204,6 juta dolar AS.
Selanjutnya film thriller Hollywood berjudul Blackhat, yang dibintangi oleh Chris Hemsworth juga mengambil lokasi di jalanan Jakarta yang ramai pada 2015. Sementara film King Kong pada 2005 yang memenangkan Oscar dan sukses secara komersial yaitu memperoleh pendapatan kotor 556,9 juta dolar AS direkam di Pulau Mursala yang eksotis di Sumatera Utara.
Masih ada serial China "Diva Hit the Road" yang diproduksi oleh Hunan TV. Serial itu menyoroti keindahan Yogyakarta, Bali, dan Bromo yang bahkan ditayangkan dalam layanan hiburan dalam pesawat Air China.
Sementara Kepala B2B Marketing dan Komunikasi Produksi Film Negara (PFN) Ihsan Chardiansyah dalam acara yang sama mengatakan sineas Indonesia juga punya sejarah bekerja sama dengan rumah produksi luar negeri misalnya film The Raid adalah kerja sama dengan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia, kata Ihsan, mendukung pertumbuhan industri film setidaknya lewat tiga lembaga yaitu Indonesia Film and Content Academy (IFCA), Indonesia Film Facilitation (IFFa) dan Indonesia Film Financing (IFF).
"Melalui acara ini saya berharap kita bisa saling terkoneksi dan kemudian berkolaborasi, tidak harus langsung mencari profit namun setidaknya bisa terhubung lebih dulu," kata Ihsan.
Apalagi saat ini, ungkap Ihsan, PFN juga sudah mengadopsi teknologi "Immersive Extende Reality Technology" (ImXR) dan memulai bioskop rakyat (community cinema) untuk menjangkau lebih banyak audiens.
Sedangkan salah satu pegiat film Indonesia yang juga COO Adhya Pictures Shierly Kosasih dalam acara tersebut mengatakan pada 2024 jumlah tiket yang terjual di bioskop Indonesia adalah 70.151.172 tiket untuk sekitar 150 judul film dari sekitar 300 film yang diproduksi.
"Kami menilai tren peningkatan jumlah penonton film ini akan terus berlanjut, namun memang genre horor baik horor komedi maupun horor adaptasi dari film luar masih menjadi yang paling dinikmati. Sekitar 40 persen film di Indonesia adalah film horor," kata Shierly.
Namun, film dengan genre drama juga makin diminati sehingga pihaknya terbuka untuk bekerja sama baik untuk investasi, produksi film bersama, adaptasi film, distribusi, pengelolaan lokasi syuting maupun servis produksi lainnya.
Sementara CEO Nanyang Bridge Media Gandhi Priambodho yaitu perusahaan yang berpengalaman dalam menghubungkan sineas China dan Indonesia mengungkapkan awalnya masyarakat China hanya tahu Bali namun dengan berjalannya waktu semakin banyak lokasi lain di Indonesia menjadi tujuan syuting sineas China.
Tony LV dari Komite Investasi Asosiasi Film China mengungkapkan bila Indonesia ingin dijadikan lokasi syuting, maka perlu menawarkan insentif apa yang didapat saat merekam gambar di Indonesia.
"Pemerintah Indonesia bisa mengundang para produser film China untuk hadir ke festival film internasional dan menjelaskan misalnya apa ada potongan pajak bila syuting di Indonesia atau menggunakan kru Indonesia karena bila dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand atau Kamboja mereka juga punya insentif dan mereka selalu ikutan festival film internasional dan mengundang kami untuk bertemu di sela-sela festival untuk mempromosikan lokasi syuting di negaranya," jelas Tony.
Apalagi film Hollywood di China saat ini tidak lagi terlalu diminati.
"Tapi berbeda dengan Indonesia, di China tidak bisa ada film horor, jadi gendre apa saja boleh asal bukan horor, itu sudah aturan pemerintah," ungkap Tony.
Baca juga: Festival Film Anak Internasional China ke-17 dibuka
Baca juga: Hainan jadi lokasi favorit produksi film mikrodrama Indonesia
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Arie Novarina
Copyright © ANTARA 2024