Bandarlampung (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan negara masih memiliki "hutang" penyelesaian tujuh kasus hukum pelanggaran HAM berat dan beban tersebut ada pada presiden terpilih yang akan datang.
"Presiden mendatang memiliki beban yang sangat berat, harus melakukan penyelesaian hukum berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, diantaranya Talangsari dan penghilangan orang secara paksa menjelang 1998 lalu," kata Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Siti Nurlaela, di Bandarlampung, Sabtu.
Tujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut merupakan rekomendasi dari Tim Penyelesaian Pelanggaram HAM berat di Indonesia, yang dibentuk Komnas HAM, sejak Desember 2012 lalu.
Saat itu, ada 10 kasus pelanggaran HAM berat yang direkomendasikan Komnas HAM agar diselesaikan secara hukum oleh negara, tiga diantaranya sudah memasuki proses persidangan, yaitu kasus kekerasan di Abepura, Timor Timur, dan Tanjung Priok.
Sedangkan tujuh kasus lain saat ini sudah di Kejaksaan Agung, namun lembaga tinggi negara tersebut belum melakukan peningkatan status ketujuh kasus tersebut menjadi penyidikan, hingga saat ini.
"Akibat kondisi itu, sekarang kasus tersebut jadi konsumsi politik untuk memperoleh suara pada pemilihan presiden," kata Laila.
Ketujuh kasus pelanggaran HAM berat tersebut adalah kekerasan di Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Talangsari, penghilangan orang secara paksa, penembakan misterius (petrus), pembantaian massal pasca G30s/PKI, dan kerusuhan Mei 1998.
Menurut Laila, pemerintahan baru di bawah pimpinan presiden terpilih yang baru akan diumumkan pada 22 Juli 2014 mendatang harus memiliki itikad baik penyelesaian kasus tersebut.
Dia menjelaskan, ada dua cara yang bisa dilakukan presiden, yaitu penyelesaian yudisial, dan penyelesaian non-yudisial.
Penyelesaian yudisial dilakukan dengan cara membentuk pengadilan HAM untuk mengadili para tersangka pelaku.
Sedangkan penyelesaian non-yudisial adalah presiden mengeluarkan langkah politik mengenai kasus tersebut, misalnya mengenai rekonsiliasi nasional.
"Pemerintah harus punya kemauan penyelesaian kasus ini, karena kalau tidak akan terus menjadi duri dalam daging yang akan meletup kapanpun," katanya.
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2014