New York (ANTARA News) - Harga minyak global jatuh pada Jumat (Sabtu pagi WIB), karena prospek meningkatnya produksi minyak Libya setelah pemberontak mencabut blokade di terminal-terminal pengiriman.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus di New York Mercantile Exchange, turun 2,10 dolar AS menjadi ditutup pada 100,83 dolar AS per barel, tingkat terendah sejak 12 Mei, lapor AFP.
Minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Agustus, turun 2,01 dolar AS menjadi berakhir pada 106,66 dolar AS per barel di perdagangan London. Ini merupakan penutupan patokan kontrak berjangka Eropa terendah sejak 7 April.
"Pasar minyak berada di bawah tekanan jual yang sedang berlangsung karena para pedagang bereaksi terhadap penurunan harga dengan menjual lebih banyak, sekalipun tanpa adanya berita bearish baru yang menarik," kata Tim Evans dari Citi Futures.
Evans menunjuk bahwa pasar terus fokus pada pemulihan produksi minyak mentah di Libya.
Namun ia mencatat bahwa sebagian besar berita minggu ini "telah mengonfirmasi bahwa terminal ekspor telah dibuka kembali dan produksi secara bertahap meningkat sebagai hasil kerja sama politik yang diumumkan lebih dari seminggu yang lalu."
Produksi Libya telah sangat terbatas selama satu tahun terakhir setelah pemberontak memblokade terminal-terminal ekspor sebagai bagian dari tuntutan untuk mengembalikan otonomi di wilayah timur negara itu.
Sanjeev Gupta, kepala praktek minyak dan gas Asia-Pasifik di perusahaan konsultan EY, mengatakan harga minyak terbebani oleh segera dimulainya kembali ekspor Libya yang terganggu ke pasar global yang sudah dibanjiri dengan pasokan.
Pelabuhan ekspor di Ras Lanuf dan Al-Sidra bisa menambah sekitar 500.000 barel minyak mentah per hari ke pasar energi global, para analis mengatakan.
Produksi di Sharara, tempat ladang minyak terbesar Libya, sedang mencapai kapasitas produksi maksimumnya sebesar 340.000 barel hanya beberapa hari setelah dibuka kembali, menyusul kesepakatan antara pemberontak dan pemerintah, Wall Street Journal melaporkan.
Tidak terpengaruhnya produksi di Irak yang sedang dilanda kekerasan juga telah berdampak "bearish" pada harga minyak, kata Gupta.
"Indikasi bahwa ekspor minyak Irak dari bagian selatan negara itu tetap terisolasi dari kekerasan sektarian yang melanda utara dalam beberapa pekan terakhir juga terbebani harga," katanya.
Irak adalah produsen terbesar kedua di 12 negara anggota kartel minyak OPEC, menghasilkan 3,4 juta barel per hari dan memiliki lebih dari 11 persen dari cadangan terbukti dunia.
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2014