Para ilmuwan dari kelompok World Weather Attribution di Imperial College London mendapati bahwa perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia memperparah badai, gelombang panas, dan banjir mematikan yang telah melanda Eropa, Afrika, dan Asia selama 20 tahun terakhir.
Menganalisis ulang 10 peristiwa cuaca paling mematikan sejak 2004, kajian tersebut mencatat bahwa gelombang panas dahsyat pada 2003 dengan puluhan ribu korban tewas di seluruh Eropa adalah "bukti tak terbantahkan pertama" bahwa perubahan iklim bukanlah ancaman abstrak dan berada jauh di masa depan.
“Itu adalah pertama kalinya para ilmuwan dengan jelas mengidentifikasi jejak perubahan iklim dalam suatu peristiwa cuaca tertentu dan menandai dimulainya bidang penelitian baru yang sekarang dikenal sebagai ‘ilmu atribusi’,” kata laporan tersebut.
Menyebutkan peristiwa cuaca ekstrem lain dalam beberapa tahun terakhir, kajian itu menegaskan bahwa tidak ada yang disebut sebagai bencana alam semata; yang mengubah bahaya meteorologi menjadi bencana kemanusiaan adalah kerentanan dan paparan populasi terhadapnya.
“Pekerjaan kami, bersama literatur ilmiah lainnya, kini menunjukkan bahwa dalam setiap ton batu bara, minyak, dan gas yang dibakar, semua gelombang panas semakin panas, dan mayoritas besar kejadian hujan lebat, kekeringan, dan siklon tropis menjadi lebih intens.”
Laporan itu juga menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, seperti gelombang panas mematikan di Rusia pada 2010, peran perubahan iklim dalam memperburuk skala peristiwa cuaca tersebut kemungkinan telah diremehkan.
“Gelombang panas paling ekstrem di seluruh dunia menjadi jauh lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim,” tambahnya.
Peristiwa mematikan lain yang menjadi fokus para ilmuwan adalah kekeringan di Somalia pada 2011, gelombang panas di Prancis pada 2015, serta gelombang panas di Eropa pada 2022 dan 2023 yang menyebabkan total 37.000 kematian.
Siklon tropis di Bangladesh, Myanmar, dan Filipina pada 2007, 2008, dan 2013 juga dievaluasi dalam kajian ini, yang mendapati bahwa semua peristiwa itu menjadi lebih mungkin terjadi dan lebih intens akibat perubahan iklim.
Menyebutkan pentingnya mengurangi kerentanan dan paparan untuk menyelamatkan nyawa dari berbagai peristiwa cuaca mematikan, kajian ini menyatakan bahwa kerugian dan kerusakan yang tak terhindarkan sebagai akibatnya menunjukkan perlunya upaya mitigasi yang mendesak untuk mengurangi kecepatan dan jumlah peristiwa ekstrem yang sangat langka di masa depan.
Sumber: Anadolu
Baca juga: Perubahan iklim kurangi 17 persen PDB negara berkembang Asia-Pasifik
Baca juga: Greenpeace gantung spanduk perubahan iklim di atas Notre-Dame
Baca juga: Temperatur perairan pantai Spanyol capai rekor
Penerjemah: Primayanti
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2024