Politik uang dan netralitas ASN

Meskipun pilkada sejauh ini berjalan lancar, bukan berarti terbebas dari sejumlah ancaman yang bisa saja menjadi potensi kerawanan, bila tak diantisipasi sedini mungkin untuk pencegahan. Sebut saja, persoalan klasik, yang selalu dituduhkan menjadi ancaman adalah soal politik uang dan netralitas aparatur sipil negara (ASN), termasuk kepala desa, aparat TNI/Polri, dan pegawai BUMN/BUMD.

Upaya pencegahan yang patut diapresiasi, misalnya, ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Semarang, Jawa Tengah, pada 23 Oktober lalu menggerebek dan membubarkan pertemuan paguyuban para kepala desa se-Jawa Tengah di sebuah hotel yang diindikasikan mendukung untuk salah satu pasangan gubernur dan wakil gubernur tertentu. Para kepala desa itu bahkan membawa slogan "Satu Komando Bersama Sampai Akhir".

Ketua Bawaslu RI Rachmat Bagja dalam konferensi pers pada 28 Oktober lalu menyebutkan bahwa sebanyak 195 kasus dugaan pelanggaran netralitas kepala desa selama kampanye, sejak 25 September lalu, tersebar di 25 provinsi.

Sampai dengan saat konferensi pers itu, dari 195 kasus pelanggaran netralitas kepala desa, terdapat 59 temuan dari Bawaslu dan 136 kasus dari laporan masyarakat. Dari jumlah tersebut, 130 kasus diregister, 55 tidak diregister, dan 10 kasus belum diregister.

Dari 130 kasus yang diregister, terdapat 12 perkara merupakan tindak pidana pelanggaran pemilu, 97 kasus pelanggaran peraturan perundang-undangan, dan 42 kasus bukan pelanggaran.

Pasal 70 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang atau lazim disebut UU Pilkada menyebutkan bahwa selama masa kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan kepala desa atau lurah dan perangkat desa maupun perangkat kelurahan.

Sementara soal dugaan politik uang, telah ada laporan masyarakat, yang dirapat-plenokan oleh Bawaslu Provinsi Bengkulu bersama Penegak Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri atas unsur kepolisian dan kejaksaan, mengenai salah satu calon Gubernur Bengkulu yang tertangkap kamera membagi-bagikan uang kepada para pedagang di Kabupaten Kaur dan memberikan uang saweran pada acara hajatan. Bawaslu sempat memanggil dan meminta keterangan dari terlapor, yakni calon gubernur yang juga petahana, pada 24 Oktober lalu. Kasus ini masih berproses, terlapor akan meneruskan pula penanganan kasus itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.

Tidak hanya kasus atas temuan dugaan politik uang dan upaya yang dilakukan atas kasus tersebut, sebuah survei juga ada yang menunjukkan bahwa Pilkada 2024 dibayang-bayangi dengan praktik politik uang.

Survei dari Skala Institute bersama Ragaplasma Research, misalnya, pada tanggal 1--7 Oktober lalu, melakukan survei terhadap 400 responden dengan metode multistage sampling atau sampel bertingkat, dengan margin of error 5 persen, di enam kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni di Kabupaten Bekasi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Majalengka, Kota Cirebon, dan Kota Bandung.

Hasil survei itu menunjukkan responden yang menjadi pemilih paling banyak tergiur politik uang yang kemudian mengubah pilihan suara adalah di Kabupaten Bekasi, yakni sebesar 45,38 persen. Sementara untuk daerah lain masih di bawah Kabupaten Bekasi. Padahal dari survei itu terdapat gambaran bahwa 58 persen responden berpendidikan SMA dan 22,5 persen lulusan perguruan tinggi; lalu sebanyak 38,25 persen berpenghasilan menengah atas dan 32 persen berpenghasilan rendah.

Meskipun dari survei menunjukkan bahwa salah satu dari tiga pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Bekasi meraih elektabilitas sekitar 40 persen, responden menjawab dapat dengan mudah mengubah pilihan akibat beberapa hal dan yang tertinggi adalah faktor pemberian uang, barang, maupun jasa. Perubahan itu dapat terjadi pada seminggu terakhir hingga hari H pencoblosan.

UU Pilkada telah mengamanahkan bahawa calon kepala daerah yang terbukti memberikan uang untuk memengaruhi penyelenggara maupun pemilih, dapat digugurkan pencalonannya jika sudah ada keputusan dari Bawaslu. Pasal 73 ayat (1) menyebutkan, calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih; ayat (2) berbunyi calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu provinsi dapat dikenai sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024