Sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam menjaga keseimbangan peran sipil dan militer di bidang pertahanan. Selama ini, proses pengambilan keputusan sering didominasi oleh pandangan militer, sementara peran sipil umumnya terbatas pada pengawasan dan evaluasi. Dengan adanya Dehannas, diharapkan tercipta ruang dialog yang lebih luas bagi perwakilan sipil untuk terlibat dalam perumusan kebijakan.
Para ahli menilai bahwa keterlibatan sipil dalam kebijakan pertahanan sangat penting untuk menjamin bahwa kebijakan yang dihasilkan dapat mencerminkan kepentingan nasional secara utuh. Menurut Peter D. Feaver dalam bukunya Armed Servants: Agency, Oversight, and Civil-Military Relations (2003), keberhasilan sinergi sipil-militer bergantung pada kemampuannya untuk menciptakan mekanisme kontrol sipil yang efektif tanpa mengurangi profesionalisme militer. Feaver menjelaskan bahwa dalam demokrasi, peran sipil yang lebih kuat di sektor pertahanan justru memperkuat legitimasi keputusan yang diambil, sekaligus memastikan bahwa kebijakan militer tetap sejalan dengan kebutuhan rakyat.
Lebih lanjut, sinergi sipil-militer ini tidak hanya untuk memperkuat kohesi nasional, tetapi juga untuk memperkaya perspektif dalam kebijakan pertahanan. Colin S. Gray dalam bukunya The Strategy Bridge: Theory for Practice (2010) menyatakan bahwa kolaborasi sipil-militer dapat menghasilkan strategi yang lebih adaptif karena menggabungkan wawasan nonmiliter, seperti aspek diplomasi, ekonomi, dan sosial, dalam merumuskan langkah-langkah pertahanan. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan oleh Dehannas diharapkan dapat lebih responsif dan adaptif terhadap tantangan multidimensi yang dihadapi Indonesia.
Dalam konteks Indonesia, Pasal 30 UUD 1945 juga menjadi landasan penting bagi penguatan sinergi sipil-militer, yang menyebutkan bahwa pertahanan dan keamanan negara merupakan tanggung jawab seluruh warga negara. Melalui Dehannas, Indonesia diharapkan dapat mengoptimalkan potensi ini, dengan mengundang partisipasi dari berbagai komponen masyarakat, baik sipil maupun militer, untuk bersama-sama menjaga keamanan nasional.
Sinergi ini juga telah diterapkan oleh berbagai negara maju. Di Amerika Serikat, misalnya, Dewan Keamanan Nasional (National Security Council) melibatkan perwakilan sipil dan militer dalam perumusan kebijakan strategis untuk memastikan bahwa semua aspek kepentingan nasional terakomodasi. Menurut Richard H. Kohn dalam artikelnya "Civil-Military Relations in the United States" di The Journal of Strategic Studies (1997), model ini membuktikan bahwa kolaborasi antara sektor sipil dan militer dapat memperkaya kebijakan dan memperkuat stabilitas negara. Kohn menekankan pentingnya sinergi ini untuk mengintegrasikan perspektif militer dengan sudut pandang sipil yang lebih luas dalam rangka menciptakan kebijakan pertahanan yang menyeluruh.
Melalui sinergi yang lebih kuat antara sipil dan militer, Dehannas diharapkan mampu meningkatkan ketahanan nasional Indonesia, terutama di tengah tantangan geopolitik regional yang terus berubah.
Langkah-langkah memperjelas implementasi Dehannas
Meski tujuan pembentukan Dehannas cukup jelas, banyak masyarakat yang masih merasa bahwa konsep ini belum sepenuhnya konkret. Publik masih meraba bagaimana operasionalisasi Dehannas akan berbeda dari lembaga-lembaga yang sudah ada.
Hal ini wajar, mengingat struktur organisasi, kewenangan, dan mekanisme kerja Dehannas yang lebih terperinci memang belum dipublikasikan. Pertanyaan yang muncul adalah tentang bagaimana Dehannas akan berperan dalam praktik, dan apakah akan ada tumpang tindih kewenangan dengan lembaga-lembaga lain di bidang pertahanan.
Salah satu tantangan utama adalah menjelaskan bagaimana Dehannas akan berfungsi sebagai lembaga strategis yang menghasilkan kebijakan nyata. Apakah ia hanya akan berfungsi sebagai lembaga penasihat, atau akan memiliki kewenangan tertentu dalam pengambilan keputusan? Kejelasan mengenai peran dan kewenangan ini sangat penting agar Dehannas dapat berjalan efektif dan tidak sekadar menjadi forum diskusi tanpa hasil yang konkret.
Untuk mempercepat dan memperjelas implementasi Dehannas, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah. Langkah-langkah ini tidak hanya akan mempertegas peran lembaga ini, tetapi juga akan memperkuat kemampuannya dalam merumuskan kebijakan pertahanan yang lebih komprehensif.
Pertama, komposisi keanggotaan Dehannas perlu mencerminkan keragaman pandangan dan keahlian. Perwakilan dari kalangan sipil, akademisi, pakar pertahanan, dan militer perlu diakomodasi secara seimbang untuk memastikan adanya keberagaman perspektif. Dengan komposisi yang beragam, diskusi dalam Dehannas akan lebih inklusif dan mampu merespons berbagai tantangan pertahanan.
Struktur organisasi yang tepat juga akan menjadi kunci untuk memastikan efektivitas kerja Dehannas. Pertanyaannya, apakah ia akan beroperasi sebagai lembaga independen, atau berada di bawah kementerian terkait? Kejelasan mengenai struktur ini sangat penting agar Dehannas memiliki otoritas yang memadai untuk memengaruhi kebijakan pertahanan.
Kedua, kewenangan Dehannas perlu ditetapkan dengan jelas agar tidak terjadi tumpang tindih dengan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti Kementerian Pertahanan dan TNI. Kejelasan mengenai peran ini akan memastikan bahwa Dehannas dapat bekerja secara efektif tanpa adanya benturan kewenangan. Jika Dehannas hanya berfungsi sebagai lembaga penasihat, maka output yang dihasilkan perlu diformulasikan secara konkret dan terukur agar rekomendasi yang dihasilkan dapat diimplementasikan.
Ketiga, agar kinerja Dehannas lebih terarah, penting untuk menetapkan prioritas isu strategis yang akan menjadi fokus kerja awal. Misalnya, Dehannas bisa memfokuskan perhatiannya pada isu keamanan maritim atau ketahanan siber sebagai isu utama yang perlu ditangani. Dengan menetapkan fokus yang spesifik, Dehannas dapat memetakan peran dan tanggung jawabnya secara konkret sekaligus memungkinkan evaluasi terhadap keberhasilan lembaga ini.
Keempat, dalam operasionalnya, Dehannas perlu memiliki mekanisme kerja yang kolaboratif dan fleksibel. Penggunaan teknologi untuk berbagi informasi melalui platform komunikasi khusus, misalnya, bisa menjadi solusi untuk mempercepat koordinasi antara kementerian, TNI, dan lembaga-lembaga terkait. Dengan mekanisme yang efisien, koordinasi antara berbagai pemangku kepentingan dapat berjalan lebih lancar.
Kelima, untuk memastikan efektivitas Dehannas, diperlukan indikator keberhasilan yang objektif. Indikator ini bisa berupa jumlah dan kualitas rekomendasi yang diadopsi atau peningkatan respons terhadap ancaman keamanan tertentu. Dengan adanya indikator yang jelas, evaluasi kinerja Dehannas dapat dilakukan secara berkelanjutan dan objektif.
Terakhir, agar Dehannas mendapatkan dukungan publik, diperlukan sosialisasi yang transparan. Pemerintah perlu mengomunikasikan peran, tujuan, dan capaian Dehannas secara terbuka agar masyarakat dapat memahami pentingnya lembaga ini dalam memperkuat pertahanan negara. Dengan komunikasi yang terbuka, dukungan publik terhadap Dehannas diharapkan akan semakin besar.
Copyright © ANTARA 2024