sudah 26 tahun reformasi, ... kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansialYayasan Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) menilai bahwa sistem pemilu secara serentak yang dilakukan pada Pemilu 2019 itu menimbulkan kompleksitas yang luar biasa. Hal tersebut lantas diulangi kembali di tahun 2024.
Sebetulnya pada tahun 2020, wacana revisi terhadap Undang-Undang Pemilu sudah bergulir, tetapi batal karena terjadi hambatan berkaitan dengan adanya Pandemi COVID-19.
Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati mengatakan pihaknya sudah melakukan 26 kali uji materi kepada MK terkait undang-undang pemilu. Dia mencatat bahwa pemilu serentak menciptakan belasan juta surat suara menjadi tidak sah karena berbagai kompleksitas permasalahannya.
"Karena kita sudah 26 tahun reformasi, saya rasa kita sepakat bahwa demokrasi kita harus bergeser dari demokrasi prosedural ke demokrasi substansial, saya meyakini salah satu caranya adalah perbaikan sistem politik dan sistem kepemiluan kita," kata Khoirunnisa.
Salah satu ide dan cara untuk memecahkan masalah lima kotak dalam pemilu serentak muncul dari organisasi Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). Mereka ingin agar ada pemisahan antara pemilu tingkat nasional dan tingkat daerah atau lokal.
Pemisahan yang dimaksud, untuk pemilu nasional terdiri atas Pilpres, Pileg DPR RI, dan Pileg DPD RI, sedangkan untuk pemilu lokal terdiri atas Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur, Pemilihan Bupati-Wakil Bupati atau Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota, Pemilihan DPRD Provinsi, dan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.
Namun, Koordinator Nasional JPPR Rendy Umboh menyarankan agar pemilu nasional dan pemilu lokal tidak diselenggarakan dalam waktu yang terlalu jauh. Untuk tahun 2029 mendatang, sebaiknya pemilu nasional digelar pada Februari, sedangkan pemilu lokal digelar pada Mei.
Kalau misalnya selisih 2 tahun pemilu nasional dan lokal, masalahnya ada di DPRD provinsi/kabupaten/kota, apakah bisa diperpanjang atau tidak? Menurut konstitusi tidak" katanya.
Tutup celah politik uang
Selain soal teknis pemilihan, pelanggaran pemilu yang kerap muncul hingga menjadi rahasia umum adalah politik uang. Mantan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo juga pernah berkelakar soal istilah NPWP, yaitu "nomor piro, wani piro" (nomor berapa, berani berapa).
Istilah "serangan fajar" yang menjadi hal buruk bagi demokrasi, seakan-akan justru menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh para pemilih "bermasalah". Politik uang pun kian memberatkan siapa pun yang berkehendak untuk menjadi pemimpin atau wakil rakyat.
Lagi-lagi rahasia umum bahwa modal biaya untuk menjadi peserta pemilu tidaklah sedikit. Hal itu pun salah satunya dikonfirmasi oleh salah satu Anggota DPR RI Muslim Ayub yang menyebutkan bahwa para legislator memerlukan biaya Rp20 miliar dalam pemilu.
Pasalnya, dia juga mengungkapkan bahwa ada oknum-oknum pemilih yang meminta imbalan hingga Rp200 ribu untuk satu surat suara.
Kemudian bukan hanya soal penurunan nilai demokrasi, biaya politik yang mahal pun menyebabkan kaum perempuan enggan untuk maju ke dunia politik, khususnya sebagai calon anggota legislatif.
Anggota DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebutkan bahwa partainya sempat kesulitan untuk mencari kader perempuan yang ingin maju menjadi anggota legislatif.
Presiden Prabowo Subianto, sebelum menjadi presiden pun sempat beberapa kali menilai bahwa demokrasi di Indonesia memerlukan biaya yang mahal. Walaupun begitu, dalam visi dan misinya, dia tetap berkomitmen untuk menegakkan demokrasi.
Penggunaan sistem pemungutan suara secara elektronik atau e-Voting pun menjadi salah satu cara efisien untuk memangkas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilu, baik teknis maupun soal politik uang.
Maka apa pun produk legislasi mengenai pemilu yang nantinya dihasilkan oleh DPR RI, hal ini diharapkan bisa merevolusi sistem pemilu menjadi lebih baik dan lebih bermanfaat.
Karena, jika masalah pemilu terus ada, maka gugatan-gugatan terhadap hasil pemilu akan terus bermunculan.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024