Jakarta (ANTARA News) - Indonesia sebagai negara berkembang sudah mulai melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui salah satu instrument Protokol Kyoto, yaitu Clean Development Mechanism (CDM). Sampai saat ini sudah lima proyek CDM di Indonesia telah disetujui pada 31 Agustus lalu oleh Executive Board, -- badan internasional yang mengatur dan mengawasi pelaksanaan CDM di dunia -- terletak di Pulau Bulan, Riau, kata juru bicara Yayasan Pelangi Indonesia, Nugroho Nurdikiawan, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis. Dari lima proyek tersebut yang memiliki penurunan emisi terbesar adalah Methane Capture and Combustion from Swine ManureTreatment Project, yang khususnya dimanfaatkan untuk berternak sekitar 230.000 babi oleh PT. Indotirta Suaka Bulan, ujar dia. Proyek ini merupakan proyek dengan penurunan emisi GRK terbesar di Indonesia, dengan rata-rata sebesar 166.000 ton pertahunnya. Sebagai perbandingan, emisi CO2 Indonesia dari berbagai sektor pada tahun 2005 sebesar 245,89 juta ton. Selain mengurangi emisi GRK, lanjut Nugroho, proyek ini juga berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan di lokasi proyek, dengan meningkatkan kualitas pengelolaan air, meningkatkan sanitasi lingkungan kerja, dan mencegah bau yang menyengat dari kotoran babi. Kini ada sekitar 80 proyek CDM yang sedang dikembangkan di Indonesia dengan tahapan berbeda. Secara keseluruhan proyek tersebut berpotensi mengurangi 15 juta ton emisi GRK tiap tahunnya. Berdasarkan jumlah proyek CDM, biomassa dan biogas merupakan proyek terbanyak sebesar 28 persen, biofel 21 persen, pengelolaan sampah perkotaan 13 persen, geoternal 11 persen, penangkapan gas methane dari limbah pertanian 8 persen, hidropower 8 persen, proses industri dan efisiensi energi 6 persen, serta 5 persen dari proyek sektor lainnya. Sementara itu berdasarkan potensi penurunan GRK, proyek geotermal memiliki potensi tinggi sebesar 39 persen, biofel 16 persen, hidropower 15 persen, biomassa dan biogas 14 persen, dan sisanya sebesar 16 persen dari sektor lain. Rumah kaca Secara alamiah sinar matahari yang masuk ke Bumi, sebagian akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa. Sebagian sinar matahari yang dipantulkan itu akan diserap oleh gas-gas di atmosfer yang menyelimuti bumi disebut gas rumah kaca -- sehingga sinar tersebut terperangkap dalam Bumi --. Peristiwa ini dikenal dengan efek rumah kaca (ERK) karena peristiwanya sama dengan rumah kaca, dimana panas yang masuk akan terperangkap di dalamnya, tidak dapat menembus ke luar kaca, sehingga dapat menghangatkan seisi rumah kaca. Peristiwa alam ini menyebabkan Bumi menjadi hangat dan layak ditempati manusia, karena jika tidak ada ERK, maka suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin. Gas Rumah Kaca (GRK) yang berada di atmosfer dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia, terutama yang berhubungan dengan pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga listrik, kendaraan bermotor, AC, komputer, memasak. Selain itu, GRK juga dihasilkan dari pembakaran dan penggundulan hutan serta aktivitas pertanian dan peternakan. GRK yang dihasilkan dari kegiatan tersebut, seperti karbondioksida, metana, dan nitroksida, menyebabkan meningkatnya konsentrasi GRK di atmosfer. (*)
Copyright © ANTARA 2006