...kali ini persoalannya serius...Bagaimana mungkin fakta itu bisa berbeda
Yogyakarta (ANTARA News) - Kesalahan dalam melakukan survei karena faktor metodologi misalnya, masih bisa dimaklumi. Tetapi jika terjadi ketidakjujuran dalam survei karena kepentingan tertentu, akan merusak integritas lembaga survei itu sendiri.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ari Dwipayana berpendapat munculnya hasil hitung cepat atau quick count yang berbeda pada Pemilihan Umum Presiden 2014 merupakan fenomena yang menunjukkan tragedi yang menghancurkan independensi dan profesionalitas lembaga survei.

Bahkan, ia sudah memperkirakan sebelumnya, akan muncul hasil hitung cepat tandingan terhadap hasil hitung cepat dari lembaga survei yang kredibel. Ia juga menilai, ini sebagai bagian dari upaya untuk membingungkan masyarakat.

"Quick count tandingan akan dimunculkan sebagai tandingan atas hasil hitung cepat yang dimunculkan oleh lembaga survei kredibel," kata Ari menanggapi munculnya perbedaan hasil hitung cepat perolehan suara Pemilu Presiden 2014, di Jakarta, Rabu.

Modus untuk menciptakan "quick count" tandingan, menurut dia, tampak jelas dari kasus tidak digunakannya hasil hitung cepat dari Political Tracking yang dipimpin Hanta Yudha. "Lembaga survei dijadikan alat propaganda politik yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah metodologi," kata Ari.

Selain itu, menurut dia, upaya memunculkan rilis hitung cepat justru dipakai untuk merancang skenario menyesuaikan hasil real count dengan quick count.

"Inilah bahaya berikutnya ketika akan muncul fenomena vote trading yang berupaya memanipulasi hasil rekapitulasi suara, baik di tingkat desa maupun kecamatan," ujar Ari.

Enam lembaga survei mengumumkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat. Sedangkan empat lembaga survei lainnya menyatakan pasangan Prabowo-Hatta sebagai pemenang Pilpres 2014 versi hitung cepat.

Enam lembaga yang melakukan penghitungan cepat dan menyatakan Jokowi-JK unggul adalah Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang mnenyebutkan Jokowi-JK 53,28 persen, Prabowo-Hatta 46,72 persen; CSIS-Cyrus Jokowi-JK 52 persen, Prabowo-Hatta 48 persen; SMRC Jokowi-JK 52,79 persen, Prabowo-Hatta 47,21 persen; Indikator Politik Jokowi-JK 52,65 persen, Prabowo-Hatta 47,35 persen, Litbang Kompas Jokowi-JK 52,4 persen, Prabowo-Hatta 47,6 persen; dan RRI Jokowi-JK 52,5 persen, Prabowo-Hatta 47,5 persen.

Sedangkan empat lembaga survei lain yang melakukan hitung cepat, yakni Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga Survei Nasional (LSN), Indonesia Research Center (IRC), dan Jaringan Suara Indonesia (JSI) menyatakan pasangan Prabowo-Hatta unggul dalam Pilpres 2014.

Sementara itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Diponegoro Semarang Turnomo Rahardjo menilai berbagai "quick count" perolehan suara Pemilihan Umum Presiden 2014 perlu diuji publik.

"Setiap penelitian, termasuk quick count, atau hitung cepat, didasari tanggung jawab etis dan metodologis," katanya di Semarang, Rabu, menanggapi perbedaan quick count hasil Pilpres 2014.

Menurut dia, hasil penelitian, termasuk hitung cepat merupakan milik publik yang harus bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, baik dari aspek etis maupun metodologis, yakni melalui uji publik.

Pengajar FISIP Undip itu menjelaskan asosiasi yang menaungi keberadaan lembaga-lembaga survei bisa "turun tangan" memfasilitasi penyelenggaraan uji publik atas hasil "quick count" dari setiap lembaga.

"Perlu dibuat semacam forum uji publik terhadap berbagai hasil quick count. Masing-masing lembaga survei menyampaikan hasil penelitiannya, metodologinya, dan sebagainya yang mungkin saja berbeda," katanya.

Beda Metodologi dan Sampel


Turnomo mengakui perbedaan hasil "quick count" memang bisa terjadi dan sangat mungkin, karena metodologi yang diambil setiap lembaga bisa saja berbeda, termasuk pula sampel dan jumlah sampel yang berbeda.


"Quick count itu kan mengambil sampel-sampel. Kalau total itu kan penghitungan manual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi, quick count memang sangat mungkin hasilnya berbeda-beda," katanya.

Antara hasil "quick count" dan hasil penghitungan manual dari KPU, kata dia, merupakan dua persoalan yang berbeda, sehingga uji publik untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian itu tetap perlu.

"Bahwa finalnya harus menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU, itu pasti. Akan tetapi, lembaga-lembaga survei harus tetap mempertanggungjawabkan hasil quick count yang berbeda-beda tersebut," katanya.

Nantinya, Turnomo mengungkapkan masyarakat bisa menilai sendiri lembaga-lembaga survei yang profesional dan berintegritas melalui pengkajian metodologis yang berlangsung terbuka dan "fair".

Sebenarnya, kata dia, perbedaan hasil "quick count" merupakan hal yang biasa dalam penelitian atau aspek akademis, tetapi persoalannya tidak bisa dilepaskan dari adanya media-media yang bersikap partisan.

"Masyarakat bisa menilai mana media yang partisan, pada akhirnya mereka tidak memercayai media-media yang seperti itu. Apalagi, ketika mempublikasikan quick count yang ternyata hasilnya berbeda-beda," kata Turnomo.

Diinvestigasi Secara Metodologis

Wakil Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Muhammad Qodari menilai perbedaan hasil hitung cepat ("quick count") jumlah perolehan suara dalam Pemilihan Umum Presiden 2014 antara sejumlah lembaga survei perlu diinvestigasi secara metodologis.

"Perlu ada investigasi pada momen ini untuk dilihat secara metodologis dan secara data di setiap lembaga yang menyelenggarakan quick count, kenapa datanya bisa muncul seperti itu (berbeda)," kata Qodari dalam diskusi di sebuah stasiun televisi di Jakarta, Rabu.

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei seperti SMRC, LSI, Indikator, CSIS-Cyrrus, Kompas dan RRI menempatkan pasangan Jokowi-JK unggul dengan rata-rata suara 52 persen dari Prabowo-Hatta dengan rata-rata 47 persen. Namun, tiga lembaga survei lain yakni Puskaptis, JSI, dan LSN, justru menyatakan kemenangan berada di kubu Prabowo-Hatta.

"Ketika terjadi perbedaan seperti hari ini, mau tidak mau harus dilakukan investigasi, harus dilihat metodologi, sampling, data populasinya, skemanya seperti apa. Karena bisa saja dia melakukan sampling yang benar tetapi data populasinya yang dia dapatkan salah ya get out," ujar Qodari.

Qodari mengatakan perlu juga dilihat siapa relawan dari lembaga survei itu, dan dari sisi pengumpulan datanya perlu diamati apakah terjadi penyimpangan atau misinterpretasi di lapangan, atau mengalami perubahan dari lapangan hingga ke pusat nantinya.

"Karena untuk melakukan quick count itu, ada dua aspek yang penting, pertama adalah pewawancara atau volunteer yang ke lapangan. Yang kedua dari mereka dikirim lewat IT (teknologi). Kalau IT nya trouble, itu kan bisa berubah juga angkanya. Terakhir dari pusat sendiri bagaimana, apakah data dari bawah itu memang disampaikan apa adanya, atau ada yang diubah atau diganti misalnya. Jadi panjang sekali ya, dari hulu ke hilir," kata Qodari.

Menurut dia, banyak pihak mungkin mengatakan survei adalah sesuatu yang bersifat opini, sehingga bisa berbeda-beda hasilnya. Namun untuk hitung cepat, hal tersebut tidak berlaku. Jika ada perbedaan data hasil resmi di TPS (tempat pemungutan suara) dengan data yang masuk dan dilaporkan ke publik, hal tersebut merupakan persoalan serius.

"Menurut saya, ini serius, kali ini persoalannya serius. Saya kira lembaga survei yang menyelenggarakan quick count harus dievaluasi. Survei itu implikasinya tidak sebesar quick county ya, kalau quick count ini implikasinya besar karena ini ngomongin hasil riil, bukan bicara tentang kemungkinan-kemungkinan. Ini berbicara tentang fakta. Bagaimana mungkin fakta itu bisa berbeda," ujar Qodari.

Bijak Menyikapi Hasil Pilpres

Qodari berharap kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden 2014, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK, dapat bijak menyikapi hasil pemungutan suara Pilpres 2014 versi hitung cepat dari sejumlah lembaga survei.

Ia berharap kedua pasangan capres-cawapres dapat segera menyikapi hasil tersebut, kendati bukan merupakan hasil resmi, dengan pernyataan-pernyataan yang menenangkan situasi politik di Tanah Air.

"Ucapan-ucapan yang kemarin disampaikan oleh calon presiden beberapa waktu lalu bahwa mereka siap menang siap kalah, dan semuanya diserahkan kepada rakyat, itu betul-betul menemukan maknanya pada hari ini. Kalau disampaikan kemarin-kemarin, ya silahkan, tapi bisakah anda menyampaikan itu pada hari ini ketika masyarakat sudah menggunakan hak pilihnya," ujar Qodari.

Pria yang juga menjabat Direktur Eksekutif Indo Barometer itu menceritakan pengalamannya saat pemilihan kepala daerah (pilkada) di Provinsi Jawa Tengah. Saat itu, "incumbent" Mayjen TNI Bibit Waluyo yang dikenal sebagai sosok yang keras mampu dengan lapang dada menerima hasil pemungutan suara di Jateng yang dimenangkan Ganjar Pranowo.

"Kita berpikir beliau akan keras, tapi begitu hasil hitung cepat, pilkada Jateng itu sudah bisa disimpulkan hasilnya, dan saat diwawancara beliau menjawab dengan jawaban yang menyejukkan sekali. "Ya kalau ini kehendak rakyat, ya saya menerima". Dengan cepat tensi politik di Jateng saat itu langsung adem," kata Qodari.

Terkait dengan hasil pemungutan suara Pilpres 2014 versi hitung cepat yang berbeda di antara sejumlah lembaga survei, Qodari menilai adanya perbedaan tersebut implikasinya luas. "Saya kira kalau angkanya bisa berbeda begini, implikasinya luas. Implikasi paling besar adalah pendukung masing-masing kubu merasa dia yang menang, sehingga akan ngotot dengan kemenangannya. Kalau ngotot, ini kan bisa dua macam, bisa ngotot verbal, bisa ngotot fisikal, ini yang kita khawatirkan," ujar Qodari.

Oleh karena itu, menurut dia, tidak ada cara lain yang harus dilakukan masing-masing kubu yakni mengawal proses penghitungan suara secara ketat di setiap tingkatan mulai dari TPS hingga tingkat kabupaten, provinsi, sampai ke tingkat pusat atau nasional.

Oleh Masduki Attamami
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014