Makassar (ANTARA) - Berjalan menyusuri lorong-demi lorong dalam suasana gelap gulita, bahkan sesekali tersandung, menjadi hal biasa bagi seorang tenaga kesehatan yang hendak melakukan pekerjaan mulia bagi pasiennya.

Senter di tangan menjadi penerangan seadanya sebagai bekal setia agar segera sampai ke tempat tujuan. Itu semua demi sebuah amanah, memastikan layanan kesehatan bagi warga terpenuhi.

Sekitar pukul 02.00 Wita atau dini hari, dalam keadaan gelap, tenaga kesehatan bernama Harianti Hafid (31 tahun) berjalan sekitar setengah kilometer untuk memenuhi panggilan kemanusiaan yang menuntutnya harus bekerja di saat semua orang di sekelilingnya tengah tertidur lelap.

Dia adalah seorang bidan desa yang ditugaskan menjadi tenaga kesehatan di Pulau Laiya, Desa Mattiro Labangeng, Kecamatan Liukang Tupa'biring Utara, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, sejak lima tahun terakhir.

Bersama seorang kerabat pasien, dia bergegas ke rumah warga untuk segera memberikan pertolongan kepada seorang nelayan yang terluka selepas melaut. Pasien ini harus segera mendapat penanganan karena tidak mampu lagi berjalan, akibat luka tusuk ikan beracun saat melaut.

Penerangan yang tidak memadai membuat Harianti mesti bekerja keras menangani luka sayat pada kaki nelayan yang terus mengeluarkan darah.

Keringat mengucur membasahi badan mungilnya, menjadi salah satu tantangan saat menghadapi pasien yang dalam keadaan darurat. Jahitan demi jahitan dipastikan Harianti harus tetap sempurna, kendati pada keadaan yang serba terbatas.

"Pas ada pasien yang ditolong dalam keadaan darurat, keterbatasan kita itu mulai dari gerah karena kepanasan, gelap, apalagi dalam keadaan warga itu kesakitan, ini juga menjadi masalah bagi kami, saat memberikan pertolongan," ucap perempuan berhijab ini yang merupakan tenaga harian lepas atau tenaga honorer di Pangkajene dan Kepulauan.

Perasaan sedih juga menyelimuti Harianti bersama sejumlah warga, tatkala akan merujuk dan mendampingi seorang balita yang menderita sakit step atau kejang akibat demam. Jenis penyakit yang biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan - 5 tahun ini harus segera ditangani langsung oleh dokter.

Kesabaran tenaga kesehatan itu betul-betul diuji untuk segera memberikan pelayanan terbaik bagi pasiennya, sementara penerangan menjadi kendala paling utama saat hendak ingin ke kota di tengah malam.

Embusan angin malam, saat itu, menjadi saksi begitu banyak tantangan yang dihadapi, mulai dari berjalan kaki dari rumah warga ke dermaga yang cukup jauh, melalui dermaga kayu yang rapuh dan berlubang, hingga harus merangkak pelan turun ke perahu karena keadaan air laut sedang surut.

Kelelahan sangat dirasakan Harianti yang harus menggendong pasien anak dan memastikan akibat kejang demam ini tidak fatal, sekaligus mengupayakan segera tiba ke rumah sakit yang memiliki peralatan maupun SDM memadai untuk menangani sang balita.

Demi memberikan pelayanan kesehatan, sulitnya penerangan merupakan tantangan tersendiri bagi Harianti di pulau ini untuk memberikan secercah harapan kepada para pasiennya yang kebanyakan menggantungkan hidup di laut.

Apalagi, ketika menghadapi persalinan seorang ibu hamil. Dia yang bertugas sendirian sebagai tenaga kesehatan mendapat ujian lebih besar saat harus menolong nyawa dua orang sekaligus, ketika menangani pasien partus. Ia mulai membantu persalinan, memastikan kondisi ibu dan anak dalam keadaan sehat, hingga mengupayakan kesehatan prima pada sang ibu setelah melahirkan.

"Untuk pasien yang partus, tentu butuh pencahayaan bagus. Apalagi setelah melahirkan, pasien akan dijahit dan kami butuh pencahayaan dalam proses penjahitan," ungkapnya, mengisahkan kebutuhannya dalam menangani sejumlah kasus kesehatan di Pulau Laiya.

Bidan Poskesdes Pulau Laiya, Kabupaten Pangkep yang sangat terbantu dalam melakukan pelayanan kesehatan dengan adanya Sorong Ultimate for Electrifying Surya untuk Negeri (SuperSUN) PLN. ANTARA/HO-Humas PLN UID Sulselrabar (B)

35 tahun dalam kegelapan

Selama 35 tahun, Pulau Laiya yang dihuni sekitar 300 kepala keluarga (KK) ini tidak tersentuh listrik. Hanya bermodalkan genset pemerintah, ditopang genset swadaya masyarakat, listrik dan penerangan itu baru bisa dinikmati, khususnya pada malam hari. Waktunya juga tidak terlampau lama, hanya 3 jam, mulai pukul 18.00 hingga pukul 21.00 Wita.

Keadaan ini telah menghambat berbagai aktivitas masyarakat di malam hari. Di saat masyarakat lainnya menghibur diri dengan nongkrong di kafe atau menikmati tontonan netflix, tidak demikian dengan masyarakat Pulau Laiya, kala itu.

Hiburan yang hanya melalui televisi pun sangat terbatas, waktu belajar bagi siswa lebih sedikit di malam hari, kesulitan menangani pasien dan pelayanan kesehatan, keterbatasan pemanfaatan peralatan rumah tangga yang menggunakan listrik, menghambat kerja administrasi dan sangat berdampak pada pengembangan ekonomi kemasyarakatan.

Kepala Desa Mattiro Labangeng Musmuliadi mengisahkan bahwa pergerakan ekonomi yang berjalan terbilang lambat akibat listrik yang belum secara berkeadilan dinikmati warganya. Banyak aktivitas yang sangat tidak efisien akibat listrik belum maksimal hadir di pulau yang menjadi bagian gugusan Spermonde tersebut.

Berada di wilayah kepulauan, masyarakat yang kebanyakan nelayan membutuhkan es batu untuk membekukan hasil tangkapannya, namun mereka tidak bisa memenuhi itu, lantaran lemari pendingin tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Alhasil, para warga harus mengeluarkan tenaga ekstra dan biaya tambahan agar hasil tangkap bisa diolah dan dibekukan.

"Kami mau bikin es batu, juga tidak bisa karena tidak bisa pakai kulkas. Jadi kami itu beli di pulau lain untuk kami gunakan di sini. Anak-anak mau belajar malam, juga tidak maksimal," ujar Musmuliadi.

Jika pemandangan mengerjakan PR bagi pelajar kerap didapati di malam hari, tidak demikian bagi kebanyakan siswa di pulau yang terbatas penerangan. Aktivitas malam hari sangat terbatas, sehingga dipastikan waktu yang dimiliki tidak bisa maksimal digunakan.

Lebih dari itu, pengembangan desa dipastikan terhambat karena listrik sebagai kebutuhan vital saat ini sangat terbatas. Aktivitas sosial, perekonomian, hingga kesehatan sangat berpengaruh terhadap penggunaan listrik sebagai kebutuhan utama dalam menjalankan roda kehidupan.

Ilustrasi. Warga Pulau Polewali, Tiara kini membuka usaha jualan makanan dan minuman. Ia juga mengaku SuperSUN PLN sangat membantu keluarganya dalam menjalankan aktivitas. Apalagi kini ia memulai usaha kecil-kecilan menjual makanan dan minuman es. ANTARA/HO-Humas PLN UID Sulselrabar (B)

SuperSUN menerangi

Hidup puluhan tahun bersama gelap kini mulai berubah. Sinar lampu tampak menghiasi lorong-lorong di Pulau Layya. Terang adalah satu kata yang menggambarkan perubahan paling mencolok pada Pulau Laiya, sejak satu bulan terakhir.

Aktivitas warga yang lalu-lalang di tengah malam, kini mulai menjadi pemandangan baru di wilayah kepulauan itu, anak-anak belajar di malam hari, suara TV dan pengeras suara, mulai sahut menyahut di pagi hingga malam hari, pembuatan es batu dari kulkas rumah warga, pembekuan hasil tangkapan nelayan, penjualan minuman dingin, pelayanan umum yang semakin maksimal, hingga pelayanan kesehatan di malam hari mulai dioperasikan menjadi beragam kegiatan yang telah bisa dijumpai di Pulau Laiya.

Meski berangsur-angsur, penyalaan listrik di kantor pelayanan umum selama 24 jam telah beroperasi sekitar satu bulan, sementara rumah-rumah warga baru dua pekan. Hal ini dianggap menjadi sebuah kesyukuran luar biasa bagi masyarakat yang telah hidup dalam kegelapan puluhan tahun lamanya itu.

Semua ini berkat PT PLN yang tidak berhenti melahirkan inovasi agar listrik berkeadilan bisa dirasakan seluruh warga Indonesia, khususnya di wilayah tertinggal, terdepan dan terluar (3T), seperti area pegunungan dan area kepulauan, salah satunya Pulau Laiya di Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.

Inovasi Sorong Ultimate for Electrifying – Surya Untuk Negeri (SuperSUN) yang telah hadir pertama kali di Papua pada 2021, kini berhasil menjangkau daerah 3T di wilayah lainnya di Indonesia. SuperSun menjadi solusi atas tantangan geografis lokasi perdesaan di kawasan 3T yang sulit dilayani.

SuperSUN seperti genset yang menggunakan bahan bakar energi Matahari. Karena itu tidak ada emisi dari gas hasil pembakaran yang dikeluarkan. SuperSun menghasilkan energi hijau yang ramah lingkungan, sehingga dipastikan pula alat ini dapat dioperasikan secara hibrida dari energi terbarukan dan menyala 24 jam serta terhindar dari pemadaman.

Pulau Laiya kini dialiri energi listrik SuperSUN yang merupakan pembangkit listrik tenaga surya individual dengan kapasitas daya 900 Volt Ampere (VA) dan dilengkapi kWh meter prabayar. Sistem ini terdiri dari PV Panel berkapasitas 440 Wp - 700 Wp serta baterai berkapasitas 2 kWh.

Keberadaan listrik hasil inovasi perusahaan milik negara ini menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas masyarakat, terutama bagi nelayan yang memulai usaha baru.

"SuperSUN adalah wujud keseriusan PLN dalam mewujudkan listrik berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Kami optimistis upaya ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," kata General Manager PLN Unit Induk Distribusi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat (UID Sulselrabar) Budiono.

Apresiasi dan ucap syukur atas keseriusan PLN terhadap listrik berkeadilan bagi masyarakat di wilayah 3T tidak henti-hentinya disampaikan masyarakat hingga pemerintah.

"Kami bisa lebih maksimal menolong dan membantu orang yang sakit berkat listrik PLN" menjadi salah satu kalimat penuh empati dan harapan yang disampaikan Harianti sebagai bidan pada Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Pulau Laiya. Tingkat taraf hidup dan derajat kesehatan dipastikan akan lebih baik dengan listrik SuperSUN PLN.

Menangani pasien yang tengah bertaruh nyawa saat hendak melahirkan dianggapnya akan lebih mudah ketika dibekali penerangan yang memadai dan kini telah terwujud berkat SuperSUN PLN. Melakukan upaya penyelamatan hingga pengobatan luka juga terasa lebih enteng karena tidak lagi dalam kondisi gelap.

Menjalani pekerjaan sebagai tenaga honorer dengan listrik yang memadai diakui akan meningkatkan motivasinya dalam bekerja dengan sistem dan melayani masyarakat. Kinerja maksimal juga akan menyertai jika fasilitas prima terpenuhi.

Asa masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan juga semakin disulam, seiring hadirnya listrik SuperSUN PLN, terlebih energi dan biaya yang dikeluarkan terbilang sangat efisien dibandingkan penggunaan genset.

Hanya Rp50 ribu, masyarakat telah bisa menikmati listrik 24 jam. Mereka pun hemat hingga 200 persen dari kontribusi sebelumnya, Rp145 ribu per bulan dengan durasi waktu hanya tiga jam menikmati penerangan.

Selain Pulau Laiya, listrik bersih 24 jam juga telah dinikmati masyarakat pulau lainnya di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, seperti warga Pulau Polewali, Pulau Saugi, dan Pulau Sapuli. Berkat energi baru terbarukan (EBT), wilayah 3T itu, kini diterangi oleh 224 unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) mikro serta sistem penyimpanan energi melalui program SuperSUN.

Tidak berhenti di situ, PLN berencana menambah 109 unit SuperSUN untuk menerangi lebih banyak wilayah di Pulau Pangkajene dan Kepulauan.

Listrik SuperSUN PLN membuat warga di Pulau Laiya bisa mengukir pengalaman hidup yang lebih terang dan gemilang berkat penerangan PLN. Raut kebahagiaan warga seolah menyampaikan pesan, "Terima kasih PLN."

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024