Kediri (ANTARA News) - Lembaga swadaya masyarakat yang konsen di bidang pemberantasan korupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), mengirimkan surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menolak rekomendasi Panja Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (gabungan Komisi II dan Komisi III DPR RI) untuk memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik anggota DPRD yang diduga terlibat kasus korupsi. Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW, Danang Widoyoko, dalam siaran pers yang diterima ANTARA Kediri, Jumat, mengungkapkan pemberian rehabilitasi itu secara perlahan berujung pembebasan terhadap 967 anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi. "Ini jelas-jelas tidak sejalan dengan agenda pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, sudah selayaknya rekomendasi pemberian rehabilitasi ini harus ditolak oleh Presiden," ujarnya. Dalam surat nomor 222/SK/BP/ICW/X/2006 yang dikirimkan kepada Presiden, ICW menyebutkan latar belakang munculnya rekomendasi mengenai penanganan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah dalam rapat Bamus DPR pada 3 Oktober lalu. Panja menyimpulkan bahwa penegakan hukum dalam penanganan terhadap kasus-kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota DPRD dilakukan secara tidak fair, tebang pilih atau diskriminatif, tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip negara hukum, terutama prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law) dan prinsip penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Selanjutnya Panja memberikan rekomendasi antara lain meminta Presiden untuk mengintruksikan Jaksa Agung dan Kepala Polri agar penanganan kasus korupsi dilaksanakan secara adil. Panja juga meminta Presiden segera memberikan rehabilitasi dan pemulihan nama baik beserta segenap hak-haknya atas kerugian yang diderita oleh anggota DPRD dan Kepala Daerah akibat penggunaan PP Nomor 110 Tahun 2000, PP Nomor 105 Tahun 2000, serta Surat Edaran Mendagri. Menurut Danang, rekomendasi tersebut lebih menonjol sebagai upaya untuk menghambat atau menghentikan proses hukum dalam penuntasan kasus korupsi terhadap politisi daerah. Desakan untuk menghentikan proses hukum korupsi dan merehabilitasi anggota DPRD yang diduga melakukan korupsi dapat dinilai sebagai bentuk intervensi politik terhadap proses penegakan hukum yang menjadi `domain` pemerintah. "Tekanan politik semacam ini tentu saja telah menjadi ancaman serius bagi usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk menegakkan hukum, sekaligus dapat mengendurkan semangat pemberantasan korupsi yang saat ini sedang gencar dilakukan," katanya. Seharusnya, lanjut dia, ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat bukan justru meminta adanya rehabilitasi khusus kepada anggota DPRD dan Kepala Daerah. Berdasarkan data kejaksaan terdapat 265 perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah tersangka/terdakwa/terpidana sebanyak 967 anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Dari data tersebut 67 perkara dijerat dengan PP 110 Tahun 2000, 198 perkara dijerat dengan PP 105 Tahun 2000 dan Surat Edaran Mendagri Nomor 161/3211/SJ tanggal 23 Desember 2003, dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dan Permendagri Nomor 2 Tahun 1994. Namun beberapa waktu lalu, pihak kejaksaan merasa kesulitan menjerat pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPRD dan Kepala Daerah menyusul dibatalkannya PP 110/2000 oleh Mahkamah Agung. Hal ini bisa dilihat dalam kasus penanganan korupsi anggota DPRD di Kabupaten Tulungagung dan Kabupaten Kediri senilai miliaran rupiah yang sampai saat ini terkesan berjalan di tempat. (*)

Copyright © ANTARA 2006