Zulkifli menyampaikan penggunaan alat tradisional untuk memanen padi, dapat menghilangkan sejumlah biji padi sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas.
"Jadi kalau pakai arit, itu food loss-nya bisa 15 persen, tapi kalau pakai mesin (mesin panen padi) itu 5 persen," ujar Zulkifli di Subang, Jawa Barat, Kamis.
Selain mesin panen padi, kata Zulkifli, penggunaan drone dapat membuat penebaran pupuk lebih merata dan mudah dijangkau, dibandingkan dengan secara manual atau petani yang memberikannya satu per satu kepada tanaman.
Menurut Zulkifli, banyak teknologi pertanian yang kini bisa diadopsi oleh para petani maupun kelompok tani.
Lebih lanjut, menurutnya, Indonesia harus mulai beralih ke cara-cara modern bila ingin meningkatkan produktivitas pertanian.
"Orang sudah pakai teknik green house, macam-macam lah sehingga itu nggak tergantung musim, nggak tergantung panas, dan memang teknologi tidak terhindar kan, harus," katanya.
Sebelumnya, Zulkifli mengatakan penggunaan bibit padi yang unggul dapat meningkatkan jumlah produksi beras sehingga diharapkan tidak perlu melakukan impor lagi.
Menurutnya, pengadaan bibit yang berkualitas sangat penting untuk meningkatkan produksi pagi. Dengan produksi yang melimpah, maka target swasembada pangan dalam empat tahun ke depan dapat terwujud.
Selama ini, Indonesia hanya mampu memproduksi beras secara nasional sekitar 31 juta ton. Oleh karena itu, Indonesia masih harus melakukan impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Dengan bibit padi yang unggul, kata Zulkifli, produksi beras diharapkan bisa terus digenjot. Ia berharap, setidaknya produksi beras di Indonesia dapat meningkat 10 persen.
"Jadi kalau 10 persen saja, kita kan 31 juta ton, kalau 10 persen saja kan 3 juta, berarti kita bisa 34 juta ton. Kalau 34 juta ton, kita nggak impor lagi. Jadi saya ke sini, apa sih problemnya pembibitan itu, kok tidak bisa lancar," kata Zulkifli.
Baca juga: Menko Zulkifli: Bibit padi unggul mampu tingkatkan produksi beras
Baca juga: Menko Pangan lapor kepada Prabowo soal swasembada pangan
Pewarta: Maria Cicilia Galuh Prayudhia
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2024