Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung yang mulai dilaksanakan pada pertengahan 2005 di provinsi-provinsi justru semakin mengekalkan "oligarki kekuasaan" di tingkat lokal.
Hasil penelitian Pusat Penelitian Ekonomi (PPE) LIPI yang dipaparkan oleh Peneliti PPE Dr Syarif Hidayat di Jakarta, Kamis malam, menunjukkan bahwa Pilkada di tiga provinsi yang diteliti mendorong semakin merebaknya praktik "shadow state" dan praktek "informal economy".
Ia mencontohkan di provinsi Jambi, di mana ada aktor di luar struktur gubernur yang menjadi pemerintah bayangan dan memiliki otoritas tinggi mengatur hubungan-hubungan hingga proyek-proyek.
Sedangkan di Kalsel, otoritas bayangan tersebut ada pada beberapa aktor yang juga menjabat anggota DPRD dimana hanya melalui oknum tersebut proses-proses tender atau hubungan dengan pengusaha bisa dilakukan.
Sementara di Bengkulu, otoritas bayangan itu dipegang oleh staf khusus yang dibentuk gubernur yang terdiri atas teman-teman dekat gubernur, mantan tim sukses atau para pakar.
Selain otoritas bayangan di luar struktur yang membuat Otoritas Formal mengalami ketidakberdayaan pasca-Pilkada, juga terjadi praktik "informal economy" berupa manipulasi kebijakan publik untuk kepentingan pengusaha, transaksi bawah tangan dalam tender proyek hingga swatanisasi aset negara.
Praktik-praktik ini, ujarnya, terjadi sebagai kompensasi dari
"investasi politik dan ekonomi" yang ditanam para tokoh atau pengusaha pada saat proses Pilkada, termasuk tuntutan atas jabatan-jabatan basah seperti Sekda, Asisten III, atau Kadis Kimpraswil.
"Untuk mencapai kemenangan sebagai pasangan otoritas Gubernur-Wagub tentu memerlukan modal hubungan-hubungan politik dan puluhan miliar dana, yang ke depannya bakal menuntut kompensasi," katanya.
Menurut dia, praktik-praktik seperti ini juga terjadi di negara-negara demokrasi lainnya seperti Amerika Serikat (AS), namun di AS, institusi pengawasan dalam pemilihan sudah berjalan baik sehingga praktik-praktik liar seperti yang terjadi di Indonesia tidak terjadi di sana.
"Di sana (AS) sudah ada peraturannya bahwa tokoh politik, pengusaha dan lain-lain boleh memberi dukungan tetapi tak bisa menuntut kompensasi. Pernyataannya pun ditandatangani kedua pihak. Sementara di Indonesia masih sebatas harapan," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006