"UU ini kurang 'applicable' untuk daerah urban. Termasuk masalah kepemilikan dan penguasaan, kalau di daerah kota seperti Menteng agak berat mau menetapkan cagar budaya," ujar dia di Jakarta, Rabu.
Gatot juga mengatakan UU Cagar Budaya saat ini tidak mengatur terkait boleh atau tidaknya pemilik bangunan menolak bangunannya ditetapkan sebagai benda atau bangunan cagar budaya.
"Walau sudah ada mekanisme sebelum ditetapkan itu penguasaannya atau pemiliknya diundang untuk dijelaskan haknya dan kewajibannya, apakah mereka boleh menolak? Ini belum jelas," kata dia.
Hal lainnya yang menjadi alasan perlunya UU direvisi, yakni ada pasal-pasal yang multitafsir dan belum semua jenis warisan budaya kebendaan dimasukkan ke dalam UU tersebut. Salah satunya lukisan batu (rock art) di Raja Ampat, Papua Barat.
"Yang paling terasa itu penafsiran terhadap pasal-pasal, ini berbeda di beberapa orang. Tidak bisa memaksa bahwa yang benar ini, karena penafsiran karena tidak diuraikan dan di penjelasan bunyinya cukup jelas," katanya.
Baca juga: Pembangunan bisa ditunda demi pelestarian cagar budaya
Baca juga: DKI lakukan penelusuran cagar budaya Menteng
Lalu, ada masukan dari di daerah. "Ada beberapa atau belum mencakup semua jenis warisan budaya kebendaan," katanya.
Di sisi lain, Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) beberapa waktu lalu pernah berdiskusi bersama anggota Komisi X DPR RI dan berpandangan perlunya peninjauan dan revisi terhadap undang-undang cagar budaya tersebut.
Senada dengan Gatot, IAAI berpendapat perlunya dilakukan revisi UU antara lain karena adanya pasal-pasal yang tidak aplikatif atau multitafsir. Bahkan aturan yang sudah tak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat saat ini.
IAAI berharap, revisi undang-undang nantinya dapat melahirkan peraturan baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024