"Cuma tupoksi di kami itu ada yang mengelola aset nonoperasional, biasanya dia yang mengontrakkan,"
Jakarta (ANTARA) - Saksi mahkota (saksi sekaligus terdakwa) kasus dugaan korupsi timah, Alwin Albar menyebutkan CV Salsabila Utama, yang merupakan perusahaan cangkang atau boneka dalam kasus tersebut, berkantor di salah satu aset PT Timah.
Alwin, yang merupakan Direktur Operasi dan Produksi PT Timah periode 2017-2020 Alwin Albar, menjelaskan CV Salsabila Utama mengontrak di aset PT Timah, namun dirinya mengaku tak mengetahui secara persis letak kantornya di mana dan siapa yang mengelola pengontrakan kantor untuk CV itu.
"Cuma tupoksi di kami itu ada yang mengelola aset nonoperasional, biasanya dia yang mengontrakkan," ungkap Alwin dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
Dalam dakwaan kasus dugaan korupsi timah, CV Salsabila Utama merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh Direktur Utama CV Salsabila Utama Tetian Wahyudi bersama Direktur Utama PT Timah periode 2016–2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan PT Timah periode 2016–2020 Emil Ermindra, yang merupakan terdakwa dalam berkas yang berlainan.
Perusahaan tersebut diduga dikendalikan ketiganya untuk membeli biji timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Alwin mengaku mengetahui Tetian sebagai teman dekat dari Emil selama ini, meski tidak mengetahui secara detail.
"Yang saya tahu mereka dekat," ucap dia.
Alwin bersaksi dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015—2022.
Selain dia, kasus itu menyeret pula Direktur Utama PT Timah periode 2016—2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Keuangan PT Timah periode 2016—2020 Emil Ermindra, Direktur PT SIP M.B. Gunawan, dan Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim sebagai terdakwa dalam sidang tersebut.
Riza bersama Emil didakwa telah mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal di wilayah IUP PT Timah, sedangkan M.B. Gunawan didakwa melakukan pembelian bijih timah dari pertambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Atas perbuatannya, ketiga terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar AS atau setara dengan Rp420 miliar.
Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.
Dengan demikian, perbuatan Helena diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.
Adapun perbuatan para terdakwa diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun. Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024