Jakarta (ANTARA) - Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam pemanfaatan industri halal untuk pemajuan ekonomi nasional.

Itu karena industri ini mencakup seluruh lini kehidupan 240,62 juta masyarakat yang memeluk agama islam di Tanah Air dan 1,8 miliar orang secara global.

Pemerintah mendefinisikan industri halal sebagai salah satu roda penggerak ekonomi yang dalam proses produksi atau pengerjaannya mengikuti syariat islam.

Dalam peta jalan industri halal tahun 2023--2029 yang dicetuskan oleh Komite Nasional dan Keuangan Syariah, pemerintah membagi industri tersebut menjadi dua bagian, yakni industri halal inti dan industri halal berkembang.

Untuk industri halal inti, mencakup sektor makanan dan minuman, farmasi, dan kosmetik, beserta jasa yang terkait, sedangkan industri halal berkembang terdiri dari sektor fesyen, pariwisata ramah Muslim, dan ekonomi kreatif syariah.

Dalam peta jalan tersebut, ada empat strategi yang diterapkan, yakni peningkatan produktivitas dan daya saing, penerapan serta penguatan kebijakan atau regulasi, penguatan keuangan dan infrastruktur, serta penguatan jenama halal melalui peningkatan kepedulian masyarakat.

Perputaran nilai ekonomi dari sektor halal mencapai Rp36 triliun pada tahun 2023, dan diproyeksikan bakal memberikan kontribusi bagi produk domestik bruto (PDB) nasional hingga 5,1 miliar dolar AS per tahun.

Selain itu, dengan jumlah Muslim dunia yang saat ini mencapai 1,8 miliar jiwa, konsumsi produk industri halal secara global hingga akhir tahun 2024 diprediksi mencapai 2,4 triliun dolar AS, dan kini telah mencapai 2,29 triliun dolar AS.

Indonesia memiliki peluang strategis untuk menjadi pusat ekosistem halal dunia, namun hal ini memerlukan penguatan ekosistem serta penyediaan pelaku profesional di industri tersebut.

Dari sisi perbankan, pertumbuhan aset industri di sektor ini menunjukkan hasil yang mengesankan, dengan aset syariah tumbuh sebesar 9,07 persen dibandingkan dengan aset bank nasional yang tumbuh 8,9 persen.

Hal ini mengindikasikan peluang yang sangat besar bagi industri halal dalam negeri, mengingat posisi ekosistem industri halal Indonesia yang meningkat ke posisi ketiga, bersaing dengan Malaysia dan Arab Saudi.

Oleh karena itu, melihat keuntungan besar di depan mata dari pengembangan industri halal, pemerintah memaksimalkan peluang dengan menerapkan kebijakan wajib halal yang diproyeksikan bisa mengakomodasi industri dalam negeri untuk menjadi sentra produsen produk halal global.

Hal ini menjadi salah satu strategi untuk bisa memacu pertumbuhan ekonomi nasional di atas 8 persen.

Penguatan ekosistem wajib halal tersebut turut dikukuhkan olwh Presiden Prabowo dengan dilantiknya Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),  yakni Haikal Hassan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10).


Wajib halal

Melihat potensi ekonomi yang menggiurkan dari pengembangan industri halal, pemerintah Indonesia mulai menerapkan skema wajib sertifikasi halal bagi para pelaku usaha yang bisnisnya masuk dalam kategori.

Dasar hukum kewajiban sertifikasi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Skema ini ditetapkan karena menjadi syarat mutlak untuk produk Indonesia bisa diekspor ke negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).

Pada Oktober 2024, ada tiga kelompok produk yang wajib memiliki sertifikat halal. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman, serta ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Banyak keuntungan yang menanti bagi para pengusaha yang sudah mendapatkan sertifikasi halal tersebut, antara lain jaminan kehalalan, meningkatkan kepercayaan konsumen, membuka peluang pasar ekspor, dan memberikan nilai tambah pada produk karena menjadi poin penjualan unik (unique selling point/USP).

Keuntungan lainnya adalah memperluas jaringan distribusi karena produk yang sudah memiliki sertifikasi bakal terintegrasi dalam mutual recognition agreement (MRA) negara-negara Muslim, serta meningkatkan kemampuan pemasaran.

Biaya untuk mendapatkan sertifikasi ini beragam. Untuk skala bisnis industri kecil menengah (IKM) atau usaha mikro kecil (UMK) dikenakan biaya Rp300--500 ribu, usaha menengah Rp5 juta, dan usaha dengan skala bisnis besar Rp12,5 juta, dengan masa berlaku selama 4 tahun.

Guna memacu pemenuhan sertifikasi ini sehingga bisa memaksimalkan pendayagunaan industri halal, pemerintah melalui BPJPH dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) aktif memberikan fasilitas sertifikasi gratis bagi para pelaku IKM/UMK yang masuk dalam kategori industri halal.

Pemerintah mencatat, hingga akhir September 2024, total produk yang memiliki sertifikasi halal mencapai 5.172.383 produk.

Nantinya para pelaku IKM atau UMK yang sudah memiliki sertifikasi ini bisa mengikuti pameran internasional untuk memperluas jaringan dan membuka pangsa ekspor untuk produk-produknya ke negara OKI.


Tantangan dan siasat

Ada beberapa tantangan yang menanti Indonesia dalam mendayagunakan potensi ekonomi dari industri halal.

Tantangan tersebut, antara lain sumber daya manusia (SDM) yang menopang keberlanjutan industri ini, serta masih masifnya barang impor.

Meskipun demikian, pemerintah sudah menyiasati tantangan tersebut dengan menerapkan beberapa program, seperti halnya pelaksanaan Diklat 3 in 1 dan mewajibkan penggunaan produk dalam negeri.

Program Diklat 3 in 1 menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menyiasati tingginya kebutuhan SDM di subsektor penopang industri halal, yakni makanan dan minuman, termasuk industri agro serta fesyen.

Melalui program ini, masyarakat bisa mendapatkan pelatihan, sertifikasi keahlian, sekaligus penempatan kerja, dengan total lulusan hingga saat ini mencapai 25.480 orang yang tersebar di 35 provinsi.

Sementara untuk memperkuat penjualan produk halal di pasar domestik, pemerintah menyiapkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) yang mewajibkan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD agar mengalokasikan 40 persen anggaran belanjanya untuk membeli produk buatan industri domestik.

Program ini juga memperkuat daya saing industri halal dalam negeri, sehingga fluktuasi pasar global tidak begitu mempengaruhi kinerja dari sektor halal inti.

Melalui pemberlakuan wajib halal dan upaya pemerintah menyiasati tantangan yang ada, diharapkan potensi ekonomi dari industri halal bisa didayagunakan oleh Indonesia untuk menjadi pemacu pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen, sebagaimana yang dicita-citakan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Asta Citanya.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024