Jakarta (ANTARA News) - Pasangan capres dan cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla ternyata harus bersaing amat sengit untuk memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014, sehingga masyarakat mulai mengkhawatirkan momentum itu mendorong terjadinya tindak anarkisme dan intimidasi.

Namun, jika dilihat dari pengalaman Indonesia menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004, kondisi sekarang ini sebenarnya tidak setegang Pilpres 2004. Ketika itu, 5 Juli 2004, Indonesia untuk pertama kalinya menggelar pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung.

Menjelang Pemilu 2004 memang sempat muncul kekhawatiran terjadinya konflik di masyarakat. Jumlah pasangan capres dan cawapres yang ikut pilpres di putaran pertama lima pasangan, yakni Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri- Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo dan Susilo Bambang Yudhoyono- Muhammad Jusuf Kalla.

Pemilu Presiden (Pilpres) 2004 putaran kedua diikuti dua pasangan capres-cawapres, yakni Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi dan Susilo Bambang Yudhoyono- Muhammad Jusuf Kalla. Pilpres 2004 putaran pertama dan kedua berlangsung aman.

Jauh sebelum Pilpres 2004 itu, Indonesia sudah menggelar Pemilu Legislatif 1955 yang masuk catatan sebagai pemilihan paling demokratis di Indonesia. Pemilu 1955 digelar dalam kondisi keamanan nasional yang kurang kondusif, karena terjadinya pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Meski demikian, Pemilu 1955 diikuti anggota angkatan bersenjata dan kepolisian untuk menggunakan hak pilihnya, dan pemilu tersebut tercatat berlangsung damai.

Sebelum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 digelar, protipe pemilu legislatif yang dilaksanakan bersamaan dengan pemilihahan gubernur dan wakil gubernur sudah digelar. Model penggabungan pemilu legislatif dan pilgub Lampung sempat dikhawatirkan berdampak buruk terhadap keamanan di wilayah Lampung, namun faktanya menunjukkan bahwa pentas demokrasi itu berlangsung aman dan damai, meski hasilnya diwarnai dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Melihat pengalaman Indonesia menggelar pemilu damai sudah berulang kali, diyakini Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 juga akan berlangsung damai dan demokratis, meski suhu politik sangat tinggi dan sebagian masyarakat ada yang mengaku merasa terintimidasi.

Sejumlah pengamat bahkan menyebutkan sikap pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dipertontonkan dalam lima kali debat capres/cawapres yang digelar KPU, berkontribusi besar mereduksi terjadinya konflik antarpendukung kedua pasangan itu, terutama di akar rumput.

Kedua pasangan capres-cawapres itu berulang kali menyatakan komitmennya untuk siap menang dan siap kalah. Kedua pasangan itu juga menunjukkan sikap yang saling menghormati dan menghargai, meski debat mereka kadang memanas. Kedewasaan berpolitik mereka pertontonkan setelah debat capres/cawapres itu sudah selesai, seperti bersalaman dan berangkulan.

Sikap penghormatan kedua pasangan itu terhadap pluralisme juga berperan besar untuk mereduksi ketegangan di akar rumput atau masyarakat banyak.

Dukungan terhadap pluralisme itu diwujudkan secara nyata, bukan sekedar jargon, yang mengantarkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Wagub DKI Jakarta, atau Susan Jasmine Zulkifli yang tetap dipertahankan sebagai Lurah Lenteng Agung meski mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat.

Kedua pasangan capres-cawapres sebenarnya sudah berusaha meredakan ketegangan politik, namun kampanye "hitam" dan sikap ketidaknetralan pers yang justru memanaskan suhu politik.

Ketika partai-partai politik tidak optimal mengajari masyarakat untuk dewasa berpolitik, semestinya pers berperan aktif mengambil alih peran mereka, yakni mengajar masyarakat untuk berpolitik secara dewasa dan kritis.

Ketika pertarungan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta dan Jokoki-JK teramat ketat, yang diwarnai dengan prediksi perbedaan perolehan suara di bawah lima persen, semestinya pers aktif meredakan suhu politik agar tidak makin memanas.

Sementara Kapolri Jenderal Sutarman juga meminta pers dapat menyampaikan berita yang positif terhadap kedua pasangan capres maupun cawapres sehingga pilpres dapat berjalan dengan suasana damai dan tenteram.


Jangan remehkan

Meski suasana Pilpres 9 Juli diperkirakan kondusif dan aman, namun aparat keamanan dan semua pihak tidak boleh menganggap remeh potensi konflik seusai pencoblosan kertas suara.

Hal senada juga disampaikan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Dwi Priyatno. "Saya perlu ingatkan kembali; kita tidak boleh under estimate terhadap situasi yang ada karena akan dihadapkan dengan peristiwa akbar penyelenggaraan pilpres," katanya.

Kesuksesan pelaksanaan pilpres di Jakarta merupakan barometer keberhasilan Indonesia menggelar Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Sehubungan itu, pengamanannya di Ibukota tetap yang terutama, dan sedikitnya 22.101 polisi dibantu 7.300 prajurit TNI melakukan pengamanan, termasuk di 32.000 TPS.

Selain Jakarta, sejumlah daerah lainnya juga memprediksi pelaksanaan pilpres di daerahnya akan berlangsung aman damai. Mereka yakin karena aparat keamanan yang didukung lapisan masyarakat siap dikerahkan untuk melakukan pengamanan pilpres tersebut.

"Apabila kita menjamin suasana aman dan damai, tentu masyarakat akan melaksanakan pilihannya dengan nurani, penuh kesadaran, dan rasional," kata Gubernur Jabar Ahmad Heryawan.

Meski ia menuturkan kondisi keamanan di wilayah kota/kabupaten di Jabar aman terkendali, status pengamanan tak bisa dikurangi kesiapannya, terlebih Jawa Barat termasuk "area tarung utama" untuk memenangkan pilpres. Sedikitnya 21.109 personel TNI/Polri disebar di setiap tempat pemungutan suara (TPS) serta melakukan patroli untuk mewaspadai munculnya gangguan keamanan di Jawa Barat.

"Bagi yang coba-coba akan melakukan kerusuhan, mengacaukan dalam pesta pemilu akan berhadapan dengan TNI dan Kepolisian Jawa Barat," kata Kapolda Jabar Irjen Pol Moch Iriawan.

Pelaksanaan pilpres di Jawa, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, memang "area pertempuran politik" yang paling menentukan untuk memenangkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014.

Agar pertarungan politik itu tidak berubah menjadi konflik di masyarakat, kenetralan dan ketegasan penyelenggara pemilu maupun aparat keamanan sangat menentukannya.

Menurut Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo, TNI dan Polri harus netral, begitu juga penyelenggara pemilu. "Terlalu besar risikonya jika tidak netral," katanya.

PDIP bahkan juga meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tetap bersikap adil dan netral, meski Partai Demokrat telah menyatakan dukungannya kepada salah satu pasangan capres dan cawapres. Selain itu, Presiden harus memastikan netralitas TNI dan Polri dalam pilpres.

"Netralitas TNI dan Polri adalah harga mati. Ketika TNI dan Polri main-main dengan netralitas maka rusak demokrasi Indonesia," kata Politisi senior PDI Perjuangan Pramono Anung.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko kembali meyakinkan masyarakat bahwa TNI netral, tegas dan profesional dalam pengamanan pilpres. "Dalam menjalankan tugas operasi pengamanan pemilu, kami netral, tegas dan profesional," katanya.

Menurut dia, "TNI menjalankan tugas tidak pandang bulu. Kalau salah harus ditindak."

Meski dibantu personel TNI, kepolisian tetap menjadi penanggung jawab utama keamanan pilpres. TNI AD sendiri mengerahkan sedikitnya 31.370 prajurit untuk membantu polisi mengamankan pilpres.

Terkait itu, Kasad Jenderal Budiman telah memerintahkan kepada seluruh Jajaran TNI AD untuk siaga dan siap digerakkan apabila diperlukan untuk membantu pengamanan pilpres.
(H009/Z002)

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014