Apa sih bermain cantik itu? Bagi saya adalah menjadi efisienJakarta (ANTARA News) - Laman stasiun penyiaran Jerman Deutche Welle menyebut laga semifinal Piala Dunia antara Brasil versus Jerman sebagai pertarungan dua pelatih yang memilih pragmatisme ketimbang identitas sepak bola mereka masing-masing.
"Sejauh ini, kita tak melihat samba, atau pola main bertukar posisi, karena kedua tim lebih memilih pertahanan yang lebih kuat dan menanti melakukan serangan," tulis Deutche Welle dalam lamanya www.dw.de.
Faktanya, dalam beberapa tahun terakhir, dan puncaknya pada Piala Dunia edisi ini, kedua tim nasional, serta tentunya pelatih Brasil Luiz Felipe Scolari dan pelatih Jerman Joachim Loew, dikritik di dalam negeri karena pendekatan mereka yang "asal menang".
Faktanya pula, di antara keempat semifinalis Piala Dunia kali ini, tak satu pun yang membawa identitas asli sepak bola mereka, termasuk total football yang tak lagi dibawa Belanda.
Prinsip asal menang ditempuh para pelatih Piala Dunia karena lanskap sepak bola sudah berubah begitu rupa sehingga kepentingan mempertontonkan teknik menjadi nomor dua, apalagi kekuatan sepak bola dunia sekarang seperti disebut harian Inggris The Telegraph, sudah merata.
Tim-tim raksasa menjadi berjuang lebih keras dalam menghadapi tim-tim medioker yang berprinsip asal tidak kalah dan kemudian menjadi asal menang, tak peduli itu dilakukan dengan menumpuk pemain di belakang, kemudian melancarkan serangan begitu tim agresor terlambat mereorganisasi diri karena asyik menyerang.
Yunani yang menjuarai Euro 2004, dan lolosnya tim-tim seperti Aljazair dan Kosta Rika ke 16 Besar --bukannya Inggris, Spanyol, Italia atau Portugal-- menandakan lanskap sepak bola memang telah berubah.
Akibatnya, cara para raksasa sepak bola dunia bermain pun berubah, bahkan Brasil sudah lama meninggalkan permainan indah yang menjadi trademark-nya.
Tidak itu saja, Brasil kini dituduh memainkan sepak bola kasar seperti mereka praktikan kepada Kolombia pada perempat final, kendali Kolombia sendiri mengasari Brasil hingga nasib Neymar berakhir di perempat final.
Mengutip AFP, saat melawan Kolombia di perempat final Brasil melakukan 31 pelanggaran dan saat melawan Chile di 16 Besar melakukan 28 pelanggaran. Jerman yang pada dua pertandingan di babak gugur melakukan 29 pelanggaran, terang ketakutan. Pelatih Joachim Loew dan gelandang Bastian Schweinsteiger sampai ngeri membayangkan ini.
Indah atau tersingkir?
"Lanskap sepak bola sudah tak bisa lagi dikenal sejak 1962, dan kelemahan Brasil kini adalah tak terlihatnya keaslian yang mereka perlihatkan sejak 1950-an sampai 1980-an sebelum pragmatisme Eropa merampas dominasi. Seorang full back Jerman seperti Philipp Lahm bahkan menjadi pengumpan terbaik di turnamen ini, dibandingkan gelandang kemilau dari Brasil," tulis Paul Hayward, kolumnis sepak bola The Telegraph.
Menang menjadi himne besar, cara menjadi dewa, sebaliknya identitas melepuh untuk musnah tidak lagi terlihat.
Namun para superstar Brasil dan Jerman seperti Neymar, Per Mertesacker dan Philipp Lahm malah sebal terhadap kritik bahwa cara mereka bermain dan cara mereka memenangkan pertandingan telah meninggalkan identitas mereka.
"Mana sih yang Anda pilih, memainkan sepak bola indah atau tersingkir?", kata Mertesacker usai timnya menang 2-1 dengan susah payah dari Aljazair pada 16 Besar.
Publik dan media menuntut lebih dari timnya, menuntut menang dengan cara yang indah. Padahal, realitas sepak bola sudah berubah.
Mereka tak peduli. Publik Jerman sampai menanggapi dingin rangkaian kemenangan dari timnasnya, bahkan menang 1-0 dari Prancis pun tak membuat mereka larut dalam eforia.
Kolumnis Der Spiegel, Alexander Osang, punya kata-kata untuk melukiskan ketidakpuasan publik Jerman atas penampilan biasa-biasa timnasnya. "Pada jumpa pers setelah laga melawan Prancis, satu-satunya orang yang menyelamati Loew adalah pejabat FIFA yang memandu jumpa pers dan satu-satunya wartawan yang memuji permainan Jerman sebagai impresif adalah seorang reporter dari Uganda."
Menang dengan bermain indah adalah juga tuntutan yang tidak pernah surut kepada skuat Brasil.
Mereka tidak senang pada cara Scolari memainkan sepak bola yang mereka sebut tak lebih dari kasar dari Uruguay di era silam dan tak kalah menjemukan dari Inggris yang hobi melepas umpan-umpan jauh ke depan sehingga para pemain Brasil kerap masuk perangkap offside lawan.
Ketika gol Hulk ke gawang Chile pada 16 Besar dianulir wasit karena dianggap sudah terlebih dahulu offside, sebagian orang Brasil justru mengamini tindakan wasit.
"Wasit telah mengambil keputusan yang benar. Gol tolol seperti itu ilegal," kata seorang penggemar Brasil lewat Twitter seperti dikutip The Guardian.
Ironisnya Brasil pernah menjuarai Piala Dunia melalui "kemenangan tolol" seperti itu, yaitu pada final Piala Dunia 1994 saat menang adu penalti 3-2 melawan Italia setelah selama 120 menit bermain seri 0-0.
Tontonan menarik
Tentu saja, para anggota skuat, termasuk Neymar, tidak sudi menerima tuduhan mereka bermain biasa-biasa hanya karena gagal mempertontonkan keindahan.
Tapi Neymar dan Brasil tak berkecil hati karena hampir semua tim raksasa melakukan itu, kecuali Spanyol.
Belanda dan Argentina yang menjadi para semifinalis lainnya dari turnamen edisi ini juga melakukannya, bahkan Argentina diejek pelatih Belgia Marc Wilmots sebagai "biasa-biasa saja" setelah hanya mampu menang 1-0 dari Belgia dan terus menerus tertekan selama laga perempat final.
Mereka sendiri mempunyai alasan kuat untuk pragmatis, apalagi tersisihnya juara bertahan Spanyol memberi pelajaran berharga pada mereka bahwa tampil untuk menang adalah lebih penting ketimbang menang dengan tampil menarik.
"Apa sih bermain cantik itu? Bagi saya adalah menjadi efisien. Kami adalah juara tak terkalahkan," kilah mantan pelatih Brasil yang mempersembahkan trofi Piala Dunia 1994 dan kini asisten Scolari, Carlos Alberto Perreira.
Faktanya, Brasil memang tak terkalahkan sejak menjuarai Piala Konfederasi 2013 dan tak ada yang bisa mengalahkan Brasil pada lebih dari 42 pertandingan di kandangnya sendiri.
Mungkin efisisen yang dimaksud Carlos Alberto adalah tak lain dari pragmatis itu sendiri.
Kini Brasil akan kembali dipaksa pragmatis dalam melawan Jerman tatkala dua pemain paling berpengaruhnya --Neymar dan Thiago Silva-- absen di lapangan. Ini hampir pasti membuat Brasil makin mengesampingkan bermain indah, apalagi lawan yang dihadapinya kini adalah Jerman si spesialis turnamen.
Sebaliknya, menghadapi raksasa yang tampil di negeri sendiri dan memiliki catatan pertemuan kedua tim yang superior, membuat Der Panzer tak akan gegabah asal menyerang hanya demi menjawab kritik tidak bermain impresif.
Dari 20 pertemuan kedua tim sebelum semifinal Piala Dunia 2014 ini, Jerman hanya menang tiga kali, sedangkan Brasil sudah 12 kali. Brasil juga pernah mengalahkan Jerman 2-0 pada final Piala Dunia 2002.
Yang jelas, saat dua tim raksasa nan pragmatis bertemu, tetap ada jaminan sebuah pertunjukan menarik tersaji di depan penonton seluruh dunia.
Ini tentang bagaimana para pemain bergerak dan memainkan bola, tetapi yang tak kalah menarik adalah bagaimana strategi para pelatih membuat para pemainnya beradaptasi dengan tuntutan dan dinamika lapangan demi merenggut puncak pertandingan, yaitu kemenangan. Selamat menyaksikan.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2014