Memiliki piringan hitam itu menjadi eksklusif sekarang

Jakarta (ANTARA News) - Memutar musik kini tak sesulit dahulu, dengan bermodalkan telepon genggam atau pemutar digital kita sudah dapat mendengarkan seluruh jenis musik dari berbagai belahan dunia dengan format mp3.

Namun, tidak semua orang puas dengan hasil rekaman mp3. Maka tidak heran kalau piringan hitam kembali menjadi pilihan para pencinta musik dan penggemar high-fidelity.

Dengan kualitas suara yang hampir menyerupai data mentah, membuat format long play ini kembali marak digunakan di dunia rekaman.

Untuk mendengarkan rekaman analog ini, wajib memilki sebuah turn table, phono amplifier dan speaker. Setelah jarum diletakkan di atas cakram yang berputar maka suara jernih dan detail akan memanjakan telinga.

Masing-masing ukuran piringan memiliki nilai putaran per menit (rpm) berbeda. Ukuran 12 inci diputar dengan kecepatan 33 rpm dan 7 inci diputar dengan kecepatan 45 rpm.

Kini banyak toko musik yang menjual piringan hitam, salah satu tempat tujuan untuk mencari vinyl record di Jakarta adalah Blok M Square tepatnya di basement blok A dan B.

Toko "La Masia" menjual alat pemutar dan amplifier. Toko ini menjual berbagai merek seperti Denon, Nu Mark, Phillips, Technic dan lainnya.

"Pembeli punya selera berbeda, ada yang suka automatic ada juga yang suka manual. Ada yang suka wooden-case ada juga yang suka lebih modern, jadi enggak bisa ditentukan mana yang paling banyak peminatnya," kata penjual toko La Masia, Imam.

Di toko itu juga dijual pemutar piringan hitam yang bisa dibawa (portable). Pemutar portable dinilai memiliki kualitas suara yang kurang baik dibandingkan pemutar biasa, namun memiliki kelebihan dapat dibawa kemana-mana.

"Biasanya orang beli untuk dibawa piknik. Untuk menghidupkannya hanya perlu baterai," katanya.

Harga yang ditawarkan untuk pemutar piringan hitam berkisar Rp1 juta sampai Rp4 juta, tergantung seri, merek dan kondisi. Untuk amplifier ia menjual dari kisaran Rp500 ribu.

"Barang yang dijual di sini sudah jaminan servis, kami telah mengganti jarumnya sehingga walau barang bekas pembeli tidak usah khawatir barang rusak," katanya.

Tak hanya menjual alat pemutar dan amplifier, La Masia juga menjual piringan hitam bekas dari musik barat, Mandarin dan Indonesia. Harga satu keping plat sekitar Rp25 ribu. Ia mengatakan pelat dari musisi Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan pelat dari luar.

Sementara penjual piringan hitam dari toko "d'jadul", Ridwan juga mengatakan bahwa pelat dari musisi Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan musisi barat. Hal itu disebabkan musisi Indonesia tidak mencetak piringan hitam dengan jumlah yang banyak.

Seperti piringan hitam White Shoes and the Couples Company album Vakansi, ia membanderol dengan harga Rp1,1 juta.

"Musisi Indonesia biasanya hanya mencetak 300 keping maka piringannya menjadi langka, kalau pelat jarang ditemui pasti mahal," katanya.

Selain menjual pelat, Ridwan beserta temannya Agus merilis piringan hitam sendiri. Di bawah nama Majemuk Record mereka telah merilis tiga album dalam bentuk piringan hitam yaitu band progressive tahun 1980-an Abbhama di rilis dengan pelat berwarna hijau, album Marcel Thee dan band rock Oracle.

Kedepan, mereka juga akan merilis piringan hitam Johnny Alexander dengan judul Sengketa Keraton Demak.

Ia menilai dua tahun belakangan ini piringan hitam kembali menjadi tren banyak anak muda yang ikut mengoleksi piringan hitam.

"Memiliki piringan hitam itu menjadi eksklusif sekarang. Band-band menjadi keren jika dapat merilis dalam piringan hitam," katanya.

Hal tersebut juga disampaikan oleh pemilik toko "Satya Garment", Dito yang berpendapat banyak band-band masa kini yang merilis album dalam bentuk long play. Itu membuat animo pendengar membeli piringan hitam bertambah.

Kualitas yang baik juga mendorong pendengar memilih untuk mendengarkan piringan hitam.

Ia menjual banyak piringan hitam dari musisi indie dengan kisaran harga Rp250 ribu sampai Rp800 ribu.

"Mahal atau enggak-nya tergantung kelangkaan pelat tersebut, kalau dari era 90-an akan lebih mahal," katanya.

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014