Belanda lalu mengerahkan pasukan khusus Marsose pimpinan Kapten Hans Christoffel, yang dikenal ganas dalam menundukkan mereka yang menentang penguasa kolonial.
Di tangan serdadu Marsose itu pula Sisingamangaraja XII mengakhiri perlawanan heroiknya. Dia wafat ditembak Marsose pada 17 Juni 1907, bersama putri dan kedua putranya.
Jenazahnya dikebumikan di Silindung pada 22 Juni 1907, sebelum dipindahkan ke taman makam pahlawan Soposurung di Balige, 46 tahun kemudian pada 14 Juni 1953.
Di Balige pula sejumlah monumen didirikan untuk diabdikan kepada sang raja agung.
Monumen-monumen itu, termasuk patungnya di kota Medan, adalah pengingat untuk bangsa ini bahwa nilai-nilai mulia yang diwariskan sang raja, khususnya heroisme dan patriotisme, mesti dirawat oleh generasi setelahnya.
Kekukuhan sikapnya mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nasional lain seperti I Gusti Ngurah Rai di Bali, yang lebih memilih mati di medan laga ketimbang bersujud kepada penjajah.
Sisingamangaraja XII mengingatkan orang kepada pahlawan-pahlawan nusantara lain yang tak pernah surut berjuang walau fisik melemah seperti Cut Nyak Dhien di Aceh yang berjuang sampai mata tak bisa lagi melihat.
Sisingamangaraja XII juga menjadi bukti otentik bahwa puak-puak nusantara tak pernah bermusuhan hanya karena berbeda suku, agama, dan adat istiadat.
Menurutu catatan-catatan sejarah, Sisingamangaraja XII yang disebut memeluk agama asli Batak beraliansi dengan tokoh-tokoh perlawanan Aceh beragama Islam yang juga sengit memerangi penjajahan.
Itu bukti kuat bahwa sejak dulu kala perbedaan agama dan suku tak pernah menjadi halangan bagi suku-suku nusantara untuk bekerja sama dan berhubungan baik satu sama lain.
Raja Sisingamangaraja XII juga menjadi petunjuk untuk bukti bahwa suku-suku nusantara selalu terbuka kepada siapa pun yang datang kemudian, walau juga tak segan melawan kala prilaku tidak adil dan diskriminatif menimpa masyarakatnya.
Keterbukaan suku-suku nusantara itu pula yang membuat mereka selalu menyambut hal-hal baru, termasuk agama-agama modern yang semuanya masuk ke nusantara dengan cara damai.
Tak ada agama yang masuk ke nusantara dengan pedang dan cacian intoleran, rasis nan merendahkan orang atau budaya lain.
Sisingamangaraja XII, I Gusti Ngurah Rai, dan banyak lagi, adalah juga bagian dari bukti-bukti otentik bahwa bangsa ini dimerdekakan oleh semua suku yang menganut agama dan merangkul adat berbeda-beda.
Baca juga: Refleksi Hari Pahlawan, BPIP Ajak Penerus Bangsa Teladani Semangat Juang Para Pahlawan
Selanjutnya: Lenyapkan gejala perbudakan
Copyright © ANTARA 2024